Langsung ke konten utama

Kurowo Nelongso Bab 13: Saripatining Roso

Chapter 13: Saripatining Roso


__________________________________________________


Saat Sukasmin bangun dan siuman dari pingsan akibat terseret arus dan terhantam dinding sungai yang tepat pada punggung dan tengkuk kepalanya.


"Sudah bangun Min?"


Terdengar suara lembut, suara yang sangat familiar, dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya serta satu sisi menjadi dalang yang memprakarsai dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini. Kacau.


"Uhhhh, i-iyaaa" dengan suara berat, pria durjana nan malang itu menimpali.

"Uaaaaghhhh" sebelum akhirnya Sukasmin terhenyak, bangun dalam kondisi badan terasa sakit dan dibuat terkejut, mendapati sesosok wanita cantik yang ada di sampingnya.


Wanita yang juga seumuran dengannya, kepala 3 menuju 4 entah bagaimana kepalanya bisa nambah banyak, namun kecantikannya masih seperti dulu, seperti saat masih bersamanya dulu.


Aqidah Nurmala Sari atau biasa dipanggil sebagai Sari.


"Ba, -bagaimana kamu bisa ada disini?" agak terbata ketika Sukasmin melayangkan pertanyaan, karena rasa kikuk dan grogi.


"Hmmmm, cuma kebetulan aja kok" timpal Sari dengan intonasi lembut, di tengah berisiknya arus air sungai di samping mereka berada.

"Ndak, ndak mungkin karena kebetulan" sanggah Sukasmin sekenanya, ya spontan yang terlintas di mulutnya dalam balutan keki, grogi atau apalah itu yang dirasakan.


Maklum lama nggak ketemu, apalagi dengan seseorang yang pernah menjadi bagian yang berharga. Tapi kan tetep aja jiaaancook, orang udah tua juga malah serasa bocah labil. Sebuah legitimasi bahwa cinta memang bisa bikin pekook wal guoblooog.


"Ya, kebetulan aku udah lihat sampean saat nggelundung dari atas. Kebetulan aku liat sampean dihajar dan dibully bahkan dilecehkan sedemikian rupa oleh empat orang ibu-ibu"


"Kebetulan juga saya lihat sampean mencuci muka, untuk membersihkan diri dari perilaku tidak senonoh yang sampean terima pun itu memang layak sampean terima, karena perbuatan sampean juga nggak mutu babar blas."


"Apa sih yang membuat sampean jadi sedemikian kacau?"


Cecar Sari kemudian. Yang hal itu membuat Sukasmin, tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya pandangan Sukasmin tertuju pada sekujur tubuh Sari. "Kok basah kuyup?"


"Jadi sampean juga nyemplung?" Lanjut Sukasmin saat Sari belum sempat menjawab.

"Iya lalu sampean pikir gimana caranya klo ndak nyemplung ha? kalau ndak nyemplung nanti sampean keburu modaaaar tau nggak?" Dengan intonasi yang agak ngegas.


"Mmmmmm, maap, malah merepotkan apalagi itu beresiko dengan nyawa, tapi kok kamu nekad sih, demi aku yang maha tidak mutu ini?"

"Ya gimana ya, masak aku tega sih melihat orang mau modar begitu saja sementara aku bisa mencegah dengan menyelamatkannya, hambok sampean itu mikir.…!!!"


"Aargghhh iya ding, orang guoblooog macam sampean mana bisa mikir, orang otaknya nggak kepake, jual aja di tokopedia pasti laku tuh karena nggak kepake" seloroh dan cemoohan diutarakan oleh manusia cantik yang jika dirasa-rasa, tidak cocok kalimat-kalimat maha dapuk itu muncul dari mulutnya yang juga cantik.


Tapi bisa terjadi, karena yang dihadapi adalah makhluk durjana yang menjijikan yang pantas dihina dan dimaki-maki dengan ujaran yang seindah-indahnya.


.…..


Kemudian, serempak terjadi keheningan di antara keduanya, hanya deru derasnya arus air yang mengalir, dan perkusi hayati lainnya yang mewarnai kebisuan dari dua insan yang sedang berkecamuk dengan pelbagai perasaan.


"Mmm sampean apa kabar?" Sukasmin dengan kikuk mencoba basa-basi mencairkan kekakuan yang tengah terjadi.

"Kabarku kabur, nggak jelas apalagi semenjak ketemu sampean ini yang malah semakin gak jelas".


"Lo lo lo lo, lha kok malah ngamuk ke saya tho mbakyu ini, rupanya belum lega sudah mengeluarkaan hinaan dengan segamblang-gamblangnya diawal".


"Lha gimana ndak ngamuk lha wong ketemu beruk anggora"


"Eeee lha bajilaaak, malah ngata-ngatain manusia tampan seperti saya ini, kualat lho sampean, bisa-bisa jatuh hati sampai mati penasaran".

"Wueleeeeh mbelgedes suuuu, yang ada bisa ketularan edan".


Wanita cantik saja bisa muncul kata-kata mutiaranya lho karena yang dijumpai memang manusia tidak mutu sejagad raya.

Obrolan demi obrolan, basa-basi hingga hinaan terangkum dari keduanya, berteman berisiknya deras air sungai.


"Lha sampean nyasar kesini apa ndak dicari suami? nanti bisa gawat lho, dikira saya yang nyulik sampean, bisa dihajar masa saya, fatal, wajah tampan saya bisa babak belur lho"

"Lho justru itu yang diharapkan masyarakat dan netizen kalau ada yang mau main hakim bersama untuk ngantemi raimu sing ra masok iki, tapi pede-ne nyundul langit".


"Walah lha kok ayu-ayu jebul yo jahat asline yo sampean iku, wah bejone ora direstui wong tuamu, ini cara Gusti menunjukkan sifat aslimu".

"Oalah lha tak leleb-lelebke ndasmu ning banyu sisan lho, tau gini tadi ku biarkan saja modar hanyut, itung-itung ngurangi sampah masyarakat".


"Hiii tekke, sejak kapan cocote njenengan dados rusak kados ngeten mbakyu Sari? ngeri ik, pedot seko aku lha kok malah jadi ikutan pedot kabel sarafnya gini njenengan?!!!"

"Lho opo sampean ora rumongso? sejak kenal dan menjalin hubungan sama sampean sebenarnya sudah ada tanda-tanda ada yang konslet di otak saya"


"Lha kok bisa-bisanya menyalahkan hamba yang tidak berdosa ini"

"Tidak berdosa, tidak berdosa dengkulmu anjlok, kuantitas dosamu jika di tempatkan di 7 galaxy pun tidak akan muat wahai yang mulia Sukasmin".


"HAHAHAHAAHAHAHA"

"Lha nopo ik malah ngguyu, mok kiro lucu yo nyuk munyuk?"


"BUAHAHAHAHA" malah semakin lebar tawa Sukasmin menanggapi ocehan Sari. "Jujur aku kangen banget suasana ini, suasana cair saat kita masih bersama dulu, yang apa-apa bisa jadi bahan obrolan receh" lanjut Sukasmin namun dengan mimik yang berubah drastis dari ketawa lebar menjadi menunduk lesu, mengisyaratkan kegundahan yang tiada terperi.


"Dulu aku pikir kamu lah bahagiaku sesungguhnya, yang layak ku perjuangkan, sehingga jangankan goyah, melirik wanita lain pun aku nggak sanggup, karena kuatnya chemistry yang kamu ciptakan, seakan-akan mengikat setiaku seutuhnya, aku terlalu optimis jika ketulusan cinta, do'a dan perjuangan adalah kunci akan ijabah yang murni, tapi kenyataannya harapan itu terhempas, pupus dan kandas, dan akhirnya membuatku tidak punya arah tujuan" bahasa yang keluar dari Sukasmin pun berubah menjadi beraura romansa, bermuatan sendu sembilu, sesal dan sesak.


"…"


"Bahkan dulu di saat ibadah masih jadi bagian yang ku anggap penting untuk mengiringi setiap sibuknya rutinitas, lalu di antara do'a dan pinta yang terlintas, selalu ku sebut namamu yang ku anggap prioritas". Dan mata pemuda yang tak lagi muda itu pun tampak berkaca-kaca.


"Atau ada alasan di balik mengapa hati dipatahkan, sebagai peringatan dari sang Pencipta, mungkin karena aku terlalu mencintai manusia, sehingga Tuhan pun cemburu dan memberiku luka".


Terasa akward ketika si kunyuk Sukasmin yang sedari awal cerita ini dibuat, dikenal sebagai pejoh durjono, yang identik dengan ketidakmutuan, namun kini di hadapan Sari, sang mantan pujaan hati, mendadak jadi melow, puitis dan syarat akan elegi romantisme.


Pun Sari tidak terkejut dengan hal ini, sebab inilah sejatinya Sukasmin dahulu, yang memang romantis, kalem dan tidak kacau balau seperti sekarang, atau lebih tepatnya semenjak asmaranya kandas darinya.


"Maaf Min, gara-gara aku, kamu jadi seperti sekarang, semrawut dan nggak mutu".

"Iya, memang gara-gara sampean, parah emang, terlaknat dikau." Cibir Sukasmin yang merepresentasikan bentuk merajuk.


"HAHAHAHA TAK TAPUKI RAIMU LHO"

"Loooo lo lo lo sejak kapan den ayu Aqidah Nurmala Sari cocotnya bisa ngendhiko rusak kados ngeten? sejak kapan jaaal tak takon?"


"Haiyooo mbuh iki Min, sing jelas bar rabi aku dadi semrawut, kehidupan rumah tanggaku dari permulaan sudah nampak tidak baik-baik saja dimana aku harus pasrah dijodohkan di era yang konon jaman kebebasan ini, yang membuatku terpaksa menjalani karena ini kemauan Bapak Ibuku, yang berharap jika anaknya dapat suami yang mapan dan kaya raya, itu sudah jaminan akan bahagia, menurut mereka, tapi sebagai yang melakoni ternyata tidak seindah harapan dan angan-angan".


"Lho kok bisa demikian nyisanak, apa yang sebenarnya terjadi?" dengan logat banyolan Sukasmin menirukan logat pengawal dalam kerajaan yang biasa ditayangkan di drama kolosal.


"Keluarga mantan suami ternyata aneh, jauh dari yang disangka keluargaku, memang kaya raya, tapi ternyata di dalamnya diisi orang-orang gila yang tingkahnya di luar nalar".

"Eh eh eh bentar bentar, mantan suami? jadi ceritanya udah cerai? sejak kapan?"


"Iya Min, sudah lama bahkan hanya bertahan tidak sampai 1 tahun usia pernikahan kami".

"Lho sejak itu sampean terus kemana? soalnya kan suamimu eh mantan suamimu rumahnya jauh, dan selama ini saya nggak pernah lihat sampean disini di desa ini".


"Aku kabur ke luar negeri Min, ke Taiwan"

"Waladalah, terus sampean disana ikut siapa?"


"Aku jadi TKW Min, kerja, sekaligus lanjut kuliah S2 sekarang sudah lulus makanya aku balik kesini, selain kangen tanah kelahiran aku juga perlu konfirmasi ke orang tuaku, yang selama ini sebenarnya mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, meskipun hasil awalnya lebih rumit lagi ketika dari keluarga mantan suami juga tidak memberitahukan akan permasalahan kami, gara-gara itulah aku sempat tidak dipercaya oleh bapak-ibu, dianggap mengada-ada atau sengaja mencari masalah, hingga ku datangkan tetanggaku di sana, yang jadi temenku dan dialah saksi hidup, dia pula yang membawaku untuk lepas dari cengkraman keluarga gila itu, dia yang mengajakku ke Taiwan, karena dia pernah jadi TKW sebelumnya, hal itu mempermudah akses bagi dia untuk bisa kembali menjadi TKW dan bahkan untuk mengajak orang lain".


"Mmmmmmm" respon Sukasmin saat mendengarkan curhatan Sari, sembari garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatel itu, kalau isi otaknya nah itu baru nggateli. "Kok bisa sampai begitu itu duduk permasalahan sebenarnya itu apa?" Lanjut Sukasmin.


"Sejak awal setelah pernikahan, mulai tampak keanehan dalam keluarganya, untuk orang sekaya itu dengan rumah yang besar dan luas, tapi hanya ada satu asisten rumah tangga, dengan 4 anak laki-laki semua dalam keluarga mertua, termasuk dia yang anak bungsu, anak paling dimanjakan, bisa dibayangkan betapa berlipat-lipat kerja ARTnya, sedangkan yang sudah menikah hanya anak bungsu si Nuriyan Subakir yang merupakan suamiku itu".


"Weleh lha kok iso yo?"

"Satu keluarga nggak bapaknya, ibunya termasuk anak-anaknya pelit, terlalu ntritik dan setiti untuk soal keuangan".


"Awal-awal aku diboyong dan menjadi bagian keluarga mantan suami, tampak seperti biasa saja, tidak ada hal yang membuatku merasa begitu aneh, namun itu hanya berlangsung selama 2 bulan hingga keadaan yang sebenarnya mulai terkuak, ketika aku tak sengaja mendengarkan obrolan mertua bersama anak-anaknya"


"…."


"Kurang lebih seperti ini percakapan mereka: Itu si Sari istrimu enak-enakan aja tinggal disini cuma numpang makan dan tidur, bukan karena jadi mantu dan istri terus bisa seenaknya, mulai besok suruh dia bangun lebih pagi, untuk bantu mbak Sumberwati (ART) nyuci, masak, dan nyapu"


"…"


"Denger itu aku mulai terpancing jengkel dan firasatku meraba jika hari-hari yang tidak baik akan dimulai, bukan karena soal aku harus mengerjakan pekerjaan rumah sebagai seorang istri, kalau soal itu aku sudah siap karena di rumah pun aku terbiasa melakukan aktivitas khas perempuan pada umumnya, tapi yang membuatku ndongkol adalah pernyataannya bahwa aku itu hanya orang yang numpang dan seenaknya".


"Wah wah wah, bener-bener ndak nyangka aku kok bisa mereka punya pikiran macam itu lho?!!! yang terlintas dalam pikiranku dulu justru sampean akan diperlakukan layaknya ratu, hidup enak dan santai". Timpal Sukasmin.


"Iya Min, aku pun sangat syok denger hal itu, dan itu masih mending, karena setelah itu, kata-kata yang jauh lebih pedas dan menusuk yang bahkan terang-terangan diluapkan di hadapanku, (seperti: oalah anak haram pantesan manja, gitu doang ngeluh capek) ketika aku sedang istirahat karena kecapekan dan tidak sanggup melanjutkan tugas rumah".


"Wuaduuuuhhh, ini sih sudah keterlaluan" sahut Sukasmin dengan mimik tak habis pikir dan emosi.


"Hari-hari yang ku jalani bak jongos, yang tidak hanya dipaksa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bukan jadi tugasku seperti mencuci semua pakaian dari Bapak-Ibu dan kakak-kakaknya Nuriyan Subakir setiap seminggu dua kali, masih harus nyapu dan ngepel lantai rumah yang segitu besarnya hanya oleh dua orang, aku sama mbak Sumberwati, bisa dibayangkan, seumur-umur aku nggak pernah diperlakukan seperti itu oleh bapak-ibuku".


"…"


"Jika aku kurang sedikit saja dalam menjalani aktivitas sebagai seorang istri, wah kata-kata mautnya keluar, nggak Nuriyan Subakir nggak Bapak-ibunya, semua sama, keluar makian kasar dan behhhhh nggak manusiawi sama sekali (seperti: celeng guoblooog, anjing pemalas, babi haram memang ya, manja) dan waaaah pokoknya seisi kebun binatang dibawa-bawa, padahal seumur hidup belum pernah dikata-katain orang lain sampai seperti itu, hanya ketiga kakaknya yang tidak pernah mengumpat atau mengata-ngatai terhadapku, mungkin karena aku yang mengerjakan tugas yang seharusnya tanggung jawab mereka".


"Mmmmmmm, sumpah aku kaget, dan nggak habis pikir, ku kira sampean bakal bahagia, padahal dengan berat hati bertahun-tahun lamanya berusaha mengikhlaskanmu dengan lelaki pilihan orang tuamu, tapi ternyata malah jadi seperti ini, sumpah aku malah gak terima ini, dan jadi emosi, yang tadinya rela demi kebaikan yang ada emosiku kini meluap-luap pingin tak labrak wae bajingan-bajingan iku".


"Jangankan situ yang hanya denger cerita, aku yang menjalani kehidupan super dancuk itu pun bawaanya pingin ambil parang, terus ku cacah-cacah dan ku mutilasi itu satu keluarga, andai tidak ada hukum".

"Lah iya jelas kalau itu aku dukung sepenuhnya, tapi dasarnya sial terhalang undang-undang".


"Tapi dibanding memikirkan hal kriminal, aku berusaha sadar dan sabar, menyadari dan menerima konsekuensi, mungkin ini adalah karma, akibat perbuatanku yang dengan atau tanpa sengaja telah melukai seseorang, sehingga inilah hukuman yang harus ku jalani, aku selalu merasa bersalah sepanjang waktu, bahkan dalam setiap sujud di sepertiga malamku, air mataku deras mengalir bukan karena cobaan yang ku terima dari keluarga mertuaku, tapi karena rasa bersalahku, dan rasa bersalah itu terhadap sosok yang saat ini ada di hadapanku".


Seketika kedua pupil mata dari dua insan itu pun bertemu, saling pandang penuh arti, tajam dan lurus, seperti sedang mentransfer bait-bait kegundahan, penyesalan dan melankolisme dari tragedi masa lalu yang mereka alami.


"Rasa bersalah yang teramat sangat, sehingga aku coba nikmati hari-hari kelam itu sembari mengutuk diri, dan berharap dari hati yang paling dalam, agar kamu di luar sana senantiasa baik-baik saja, ditemukan wanita pengganti yang jauh lebih baik, yang gemati, yang menerimamu apa adanya, yang akan menemani hingga akhir hayatmu, itulah yang sepanjang hari selalu ku panjatkan, tanpa disadari, rupanya rasa cintaku benar-benar masih terpatri terhadapmu tapi aku merasa sudah tidak layak untuk mengaku cinta terhadap orang yang sudah sangat ku lukai". Berkaca-kaca Sari ketika menuturkan isi lubuk kalbunya, air mata tampak menggenang dan menunggu giliran untuk jatuh, mengisyaratkan elegi kepedihan.


Pun demikian dengan Sukasmin, yang juga ikut terhanyut dan berkaca-kaca demi mendengar curahan hati atas peristiwa yang dialami Sari, sosok yang pernah sangat berharga, yang menjadi belahan jiwa, hingga membuatnya hampir sakit jiwa karenanya pula.


Di tengah haru pertemuan mata yang saling pandang, Sari melanjutkan elegi curahan kepedihannya "Jika hanya disuruh-suruh selayaknya kacung dan dikata-katain dengan ungkapan kasar saja sudah cukup membuat suasana hidupku jadi tidak nyaman, rupanya itu belum cukup karena masih ada hal yang di luar nalar bahkan sama sekali tak terpikirkan jika hal seperti ini akan ku terima dari keluarga kaya raya yang ternyata memiliki sisi lain yang sangat tidak wajar".


BERSAMBUNG

Komentar