Langsung ke konten utama

Kurowo Nelongso Bab 12: Ajur Mumur

Chapter 12: Ajur Mumur


____________________________________________


BRAAAAAAK


"Guoblooook!!!"


"Maaf Pak, saya sudah memeriksa dokumennya sebelum saya kirimkan ke Bapak, apakah ada yang salah?!"


"Lha ini muaaataaamu apa nggak liat HAAA? matamu melek nggak? atau udah picek matamu?! matamu ketutupan tempik janda mana?!" bahasa hardik nan pedas ala bos adalah hal yang bakal lumrah ditemui dalam dunia kerja, jika kita kerja untuk atau ikut pada seseorang, perusahaan dan intansi apapun itu.


Selama kita hanya sebatas bawahan ya jangan sungkan-sungkan mendengar makian dan bahkan menjurus direndahkan, klo mau bebas dari hal itu, bikin usaha sendiri, wirausaha judulnya.


Bangun sendiri dari nol, kelola sendiri nah ketika udah besar, nyari karyawan dan bos-in sendiri, pada fase itulah kisanak-nyisanak bakalan tahu sensasi seorang big bos.


Yang jari telunjuknya aja maha sakti, tanpa sepatah kata, cukup nuding, bawahan akan otomatis bertindak, jika bawahan nggak mudeng atau nggak mudengan, nah disanalah maki no jutsu bisa anda rapalkan. "Guoblooog" misalkan.


Syukur-syukur jika kisanak tipe orang penyabar, paket komplit itu, udah bos besar tapi santun dan sabar. #mustahil


"Maaf Pak saya akan melakukan revisi dan membuat laporan ulang"


"Tidak usah, mulai sekarang kamu saya pecat" JLEEEENGG, sambaran petir memang mengejutkan, namun ada kalanya akan kalah menakutkan dari suara manusia, disaat paling genting adalah saat bersalah dan mendapati keputusan yang memberatkan.


Bos mah bebas iya kan?! Nggak orang gila doang yang bebas.


"Tap ta-tapi Pak?!!!!"


"Nggak ada tapi-tapian, silahkan urus berkas-berkasmu dan yaa . . . semoga kamu menemukan pekerjaan baru yang lebih baik mungkin, yang cocok sama passion kamu."


"Eee i-iya Pak, permisi"


Bahkan dalam konteks demikian, tak ada lagi balasan basa-basi, "Dan terima kasih untuk kerja samanya selama kamu bekerja disini" misalkan, itu pun nggak.


Fix bukan?! seorang bos mah bebas.


• • •


Di sebuah kamar kos sempit, seorang pemuda terbaring lesu, dengan kecamuk pikiran dan hati yang sendu.


"Duh gusti alah padahal sebentar lagi mau nikahan, malah cobaan datang tiba-tiba" dalam hati si pemuda itu merenung murung meratapi ujian yang baginya terasa berat dan mengejutkan.


Tok tok tok, disaat lamunan dan pikirannya sedang keruh dikejutkan suara ketukan pintu, sontak ia bangkit dengan agak terkejut.


"Iya bentar" ceklek.


 "Eh Min tak kandani Min" intonasi bahasa yang tergesa-gesa.


"Wah kowe ki ngageti, kandani opo tho jane? kok sajakmu kesusu koyok penting ae" (Wah kamu itu bikin kaget aja, ada kabar penting apa sih? kok sajaknya kamu tergesa-gesa?")


"Lhooo iki penting tenan, menyangkut harkat dan martabat kisanak yang bau ketiak, iki ya deleng ya, gathekkan dengan seksama" dengan mengeluarkan handphone, lalu ditunjukkan sebuah foto.


"Mmmmm????! maksudte? iku foto nikahan? tegese piye?!" (Mmmmm????! maksudnya? Ini foto nikahan? maksudnya gimana?!)


"Aduuh goblookmu awet banget semenjak gawan bayi to Min Kasmin" (aduh kedunguanmu awet sekali, semenjak bawaan dari bayi, Min Kasmin). sembari menonyo.


"Iki lho matanya dicelekkan, iki Sari blooook". (Ini lho matanya dijembreng yang lebar, ini Sari bloook).


JEDAAAAAAAAAR


"Sari? sari siapa?!" Masih dengan kebingungan dan asas praduga tak percaya, lalu di zoomlah foto yang ditunjukkan itu dan.…


"Yo Sari tunanganmu lah mosok ra apal masio wis di make over, kan yo sithik-sithik ketoro nek iki SARI es asa er iri ri S A R I, yu andersten?!! Heloooooh"


BLAAAAAANG


Demi mendengar dan melihat hal yang disampaikan secara verbal dan visual oleh temannya, sang pemuda yang tengah gundah gulana oleh cobaan yang baru saja ia resapi dalam nuansa sesal, justru cobaan lainnya datang menyusul, hidup penuh cobaan bukan? jadi akan terasa heran jika ada manusia-manusia dapuq yang senang coba-coba.


Namun ia belum sepenuhnya percaya, bisa saja itu orang lain yang kebetulan memiliki kemiripan dengan Sari yang dimaksud tunangannya.


"Lha kowe entok foto iku seko endi Jon?!"

("Lha kamu dapat foto ini dari mana Jon?!")


"Dewanti yang ngirimi"


"Loh kok Dewanti?!"


"Iyo Dewanti ki entok ulem seko konco sekolah SMAne mbiyen, nah ternyata setelah teko kok weruh nganten wedoke kok koyok familiar, nah digatekno ee pancene Sari pacarmu sing wis mok lamar iku. Masio Dewanti ki koyoke ora kenal mbi Sari tapi apal mergo nyok mok ajak rene"


(Iya Dewanti ini dapat undangan dari teman sekolah SMA-nya dulu, nah ternyata setelah datang melihat pengantin wanitanya kok seperti familiar, nah diperhatiin lagi seksama ee memang Sari pacarmu yang sudah kamu lamar itu. Meski Dewanti sepertinya tidak begitu kenal dengan Sari tapi hafal sebab kadang kamu ajak kesini).


"Saiki Dewanti ning ndi?! tak takonane"

(Sekarang Dewanti dimana?! aku mau tanya langsung padanya).


"Belum pulang Min, ini pesenku aja belum dia baca."


Hati bergetar hebat, detak jantung memacu dengan sangat cepat, belum kelar menetralisir kegundahan hati, datang lagi elegri berita yang mungkin menjadi penjelasan tentang badai derita yang akan menyambanginya.


Kuat dan mencoba kuat, namun hati adalah fleksibelitas, ada kalanya sekuat baja, ada kalanya lebih rapuh dari kayu yang termakan usia.


"Sabar Min, nunggu Dewanti yo, semoga saja itu bukan Sari-mu, aku paham sampean lagi dapat masalah, dipecat dari perusahaan, aku juga minta maaf sebesar-besarnya karena malah menambahi beban dengan memberitakan kejanggalan, tapi ini spontanitas dari rasa solidaritas, dimaapi yo?!"


"Sante ae bro, malah aku matur nuwun"


"Eh kowe wis mangan durung? tak tukokno mangan yo? soale aku yo pas kencot marincot iki, cacing-cacing di perut pada demo, menuntut jatah nasi bungkus."


"Kagak usah Jon, sampean saja, inyonge ora kencot kok" (Kagak usah Jon, sampean saja, aku nggak lapar kok). Dengan nada bahasa ngapak.


"Alah santai wae lho, awakmu ki ngelih asline, opo neh gek budrek ngene, aku sing ntraktir tenangno pikirmu yo, tak tukokno iki pesen opo?!"


(Alah santai saja lah, kamu aslinya lapar apalagi ditambah sedang puyeng seperti ini, aku yang traktir tenangkan pikiranmu ya, aku beliin ini mau pesen apa?)


"Wis Jon ora usah, aku tak turu ae bro, tulung yo."


"Ah yo wis lah, karepmu, tapi ngko nek ngelih ngomong yo!"


"Uh she up" eladalah fans keluarga petir ternyata.


Berbaringlah ia, lengan tangan menutup dahinya, mata batin berupaya menerawang dalam imaji, berandai-andai hal positif, 'Semoga itu tidak, semoga bukan dia'.


Pikiran yang tengah keruh ia coba tepis, memainkan logika sebelum perasaan mengambil alih keputusan, baginya seorang Pria harus pandai dalam mengedepankan logika daripada perasaan.


Criiiit jetak (suara rem motor dan standar yang diturunkan)


TOK TOK TOOOOOK


"Masuk aja nggak dikunci"


"Duh Min Sukasmin" seorang cewek yang ia kenali nyelonong masuk dan menghapirinya, Dewanti namanya.


"Ini Min ini lihat Min"


"Iyo De iyoo" benaknya sudah menebak, tentang apa yang akan ditunjukkan sebab seorang teman lain telah lebih dulu menjadi informan. Namun ini tentang kejelasan, mempertegas kenyataan yang sebelumnya hanya menjadi perkiraan.


Si cewek yang disapa Dewanti itu, menujukkan hpnya, untuk menyampaikan kabar kegetiran, berupa video.


Lebih jelas, lebih hidup dan terdengar juga dalam bentuk suara . . . .


(Ketika tiba di bagian nyentil yang tersaji dalam video itu) " . . . Saya nikahkan Aqidah Nurmala Sari bin Sujiwo Pranoto . . ." demi mendengar nama lengkap pengantin wanita dan juga nama orang tuanya, diperkuat rupa yang tersaji di dalam video itu, SAH apa yang dilihatnya adalah fakta, fakta tragis yang semakin memporak-porandakan hatinya paska dipecat dari tempat kerja.


Terjawab sudah, pertahanan logikanya, perasaan manusiawinya mengambil kendali, air mata menjadi bukti, bahwa sebagai pria pun tetap akan menangis ketika hatinya benar-benar tercabik teriris.


Tsunami, gunung meletus, tanah longsor adalah bencana besar yang bisa saja merenggut jutaan nyawa, namun bukankah tentang cinta juga bisa menciptakan bencana yang lebih tragis dari itu semua?!


"HAAAAAAAAAAAAAAAAAAA" teriakan amarah meski tak berwujud dalam suara, hanya dalam hati ia tumpahkan, sosok pria gentle nan tangguh meskipun dirinya tengah rapuh, ia tak lantas membabi buta melampiaskan kekesalan.


Sukasmin begitulah namanya tercatat dalam pembukuan kependudukan negara.


Hancur, lebur, lalu dihantam deruan badai hingga menjadi partikel-partikel kecil tak kasat mata, terberai tak tentu arah mungkin itulah gambaran betapa remuk redam hatinya.


Cinta dan Benci hanyalah berseberang dalam sejengkal takdir lalu mengapa kita terlalu fanatik akan keduanya?!.


••••


"Sudah bangun Min?"


Saat Sukasmin bangun dan siuman dari pingsan akibat terseret arus dan terhantam dinding sungai yang tepat pada punggung dan tengkuk kepalanya. Terdengar suara lembut, suara yang sangat familiar, dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya serta satu sisi menjadi dalang yang memprakarsai dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini.


Bersambung

Komentar