Langsung ke konten utama

Cerita Bersambung - Arimbi - Modiar! Anak buto Meteng!

24.



Modiar! Anak buto Meteng!



~oOo~~~



"Fiuh... Akhirnya." Bimo mendengus lega begitu melangkah keluar dari ruang ujian. Akhirnya, walau harus tertatih berdarah darah dan berselimut galau, akhirnya dia bisa menghadapi ini, menghadapi ujian nasional. Menghadapi musuh besar remaja di seantero Indonesia Raya.

Kuampruet!

Entah bagaimana hasil nilainya nanti, biarlah itu menjadi urusan nanti. Lulus tidak lulus, biarlah itu terjadi nanti. Toh tidak luluspun tidak akan berpengaruh. Orang tua Bimo kaya, dan warisan mereka nanti sudah lebih dari cukup untuk menjamin hidupnya tanpa perlu selembar ijasah usang itu.

Persetan! Yang pasti sekarang, ujian telah usai. Otak kampretnya kini terlepas bebas dan merdeka. Selamat tinggal untuk rumus Matematika dan Fisika yang teramat sulit binti rumit. Rumus dapuk yang sebenarnya tiade gune.

Good bye!

Dengan langkah pasti Bimo berjalan menyusuri koridor sekolahan. Koridor yang -mungkin- tak akan pernah lagi dia lewati, nanti... saat seragam putih abu-abu ini telah di tanggalkan dan berganti.

Senyum yang beberapa hari ini sempat terlupa juga kembali tersungging di bibirnya. Sunyum senang walau belum tentu menang. Senyum bungah di balik was was yang mengancam. Senyum remaja yang telah bebas dan merdeka.

Merdeka!

Di ujung koridor, seraut wajah cantik menunggu dengan senyum manis memamerkan sepasang gigi kelinci. Raut cantik yang telah membuat masa remaja Bimo jungkir balik penuh tragedi. "Hehe... Anak Buto." gumannya sambil terus menghampiri gadis itu.

"Lama amat sih?" gerutu Arimbi si gadis anak buto sambil langsung menggelendot manja di lengan Bimo. Gelendotan posesif yang semakin membuat bingung tentang apa hubungan mereka sebenarnya. Pacarkah? Atau...

"Yaelah... bisa kelar aja udah untung keles." sahut Bimo sambil menggandeng Arimbi manja menuju parkiran.

"Eh... kita ngafe dulu yuk?"

"Kamu yang bayarin ya." Arimbi mengangguk sambil semakin mengeratkan gelendotan manjanya.

Setiap yang melihat hanya bisa menggeleng heran melihat tingkah mereka. Gaya mesra yang lebih mesra dari mereka mereka yang berpacaran. Gaya yang membuat mereka melegenda, menjadi Raja dan Ratu guasyu masa kini.

Tanpa mereka sadari, dari ujung yang berlainan, sepasang mata tajam mengawasi. Sepasang mata itu lekat menatap sampai Bimo dan Arimbi berbelok di ujung koridor. "Time's up," guman-nya sambil tersenyum misterius dan kemudian berbalik berlalu.

Sementara itu di tempat lain, seorang gadis cantik terlihat tenang menyusuri koridor sekolahnya. Sesekali seutas senyum juga terkembang manis sambil menatap layar handphonenya. "Time's up," guman-nya juga sambil terus melenggang tenang menembus keramaian.

Whuuuuum...

Seperti biasa, motor super-sport Bimo langsung menjadi pusat perhatian begitu memasuki parkiran cafe. Dia terlihat mencolok di antara bebek dan matic di kanan kirinya. Terlalu mewah dengan kesederhanaan di sekelilingnya.

"Kamu mo pesen apa?" tanya Bimo begitu mereka duduk di pojok biasa.

Tempat yang entah kenapa selalu kosong, seperti tersedia kusus untuk mereka setiap nongkrong di cafe ini. Sudut tersembunyi yang tenang, aman jauh dari hingar bingar dan lalu lalang. Tempat sempurna untuk santai dan berlama lama.

"Terserah." sahut Arimbi sambil sejenak menahan nafas dan memejamkan mata. Entah kenapa, begitu memasuki cafe ini dan mencium bau durian yang menyengat, Arimbi tiba tiba merasa pusing begitu masuk ke sini. Perutnya terasa mual dan ingin...

"Kamu kenapa Rim?"

Tanpa sempat menjawab, Arimbi langsung berlari ke toilet. Mual itu semakin tak tertahan lagi. Sesampainya di toilet, Arimbi langsung memuntahkan semua isi perutnya. Keringat dingin juga membasah di sekujur tubuhnya.

"Kamu kenapa sih Rim?" tanya Bimo khawatir dari balik pintu toilet.

"Nggak tau." sebentar Arimbi berusaha mengatur nafasnya satu satu. Sumpah demi segala bau bauan di muka bumi ini. Bau durian itu sungguh... Eeeeh... terlalu. Bau banget sumpah!

Padahal sebelumnya Arimbi tidak pernah bermasalah dengan durian, apalagi dengan baunya. Bahkan Arimbi paling doyan dengan buah yang satu itu. Dan musim durian seperti sekarang adalah musim yang selalu dia tunggu setiap musimnya. Tapi sekarang?

Dengan wajah pucat, Arimbi perlahan keluar dari toilet dengan langkah gontai. Sesekali dia berhenti berpegangan tembok karena pusing dan pandangannya yang sesekali kabur. "Kita pulang aja Bim." ujarnya sambil masih berusaha mengatur nafasnya satu satu.

"Ya udah, yuk..." Bimo mengangguk khawatir sambil merengkuh pundak Arimbi. Tapi sial! Baru beberapa langkah pandangan Arimbi byar pet gelap dan semakin gelap, dan akhirnya... limbung. Arimbi pingsan. "Huaduoooh! Piye iki?!"

oOo


"Aku di mana?" tanya Arimbi begitu siuman. Sesekali dia masih menutup mata dan mengatur nafas satu satu, berusaha menetralisir pusing yang masih sedikit terasa.

"Di kamar aku." jawab Wanda sambil membantu Arimbi bangun dan memberi segelas teh manis anget. "Ni... minum dulu."

"Kok aku bisa di kamar kamu?" Perlahan Arimbi menerima teh manis anget itu dan mulai menyeruput pelan. Hangat minuman itu sedikit bisa mengurungi mual yang masih sedikit terasa.

"Kamu nggak tau?"

Arimbi menggeleng pelan dengan bibir masih menemple di bibir gelas. Dia tidak ingat. Yang Arimbi ingat hanya tadi dia sedang di cafe bareng Bimo, mual, dan... tiba tiba gelap. Setelah itu Arimbi tidak ingat lagi.

"Tadi kamu pingsan di cafe."

Arimbi sedikit mengerutkan sepasang alisnya sambil masih menyeruputi teh manis anget itu pelan.

"Iya, tadi kamu pingsan di cafe. Terus Bimo langsung telefon kita kita. Untung aja kita blon pada pulang, masih nyante nongkrong di kantin."

"Tapi kok di bawa kesini?"

"Ya iyalah di bawa kesini, sini kan yang paling deket Bu..."

"Oooo... terus sekarang Bimo mana?"

"Di luar ama Andri ma Revan."

"Rim?" Septi yang sedari tadi hanya duduk diam perlahan beringsut mendekat. "Mmm..." Istri Andri itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu.

"Iya Sep?"

Sejenak Septi mendesah dengan raut senyum kecut yang terlihat resah. "Kamu kenapa tetiba bisa pingsan gitu?"

Arimbi menggeleng pelan sambil sesekali masih menyeruputi teh manis angetnya. "Nggak tau... tadi tiba tiba aja pusing pas masuk cafe terus nyium bau durian, mual."

Senyum kecut semakin jelas di raut wajah Septi. Entah senyum kecut karena apa. Tapi yang jelas, naluri dan pengalamannya mengatakan ada sesuatu dengan Arimbi. Sesuatu yang pernah juga dia alami.

"Kamu terakhir dapet kapan Rim?"

Arimbi dan Wanda saling berpandangan bingung dengan maksud pertanyaan aneh Septi itu. "Emang napa gitu Sep?" tanya Arimbi.

Sekilas Septi menarik nafas sambil meraih jemari Arimbi dan menatapnya dengan tatapan trenyuh. Tatapan aneh yang membuat Arimbi dan Wanda semakin bingung. "Udah jawab aja... kapan?" lanjut Septi pelan dan berhati hati.

"Kapan ya..." walau masih bingung, Arimbi tetap berusaha mengingat ingat kapan dan kapan biasanya tamu bulanan itu datang. "Nda... Tolong kalender dong."

Masih dengan raut yang tak kalah bingungnya, Wanda perlahan mengambil kalender yang terpaku di dinding kamarnya. Di samping poster JKT48 yang banyak tertempel di sana. "Ni..."

Arimbi menerima kalender itu dan mulai menghitung. Omigod! Raut wajahnya yang masih sedikit pucat seketika pias. Sekali lagi Arimbi menghitung memastikan. Semakin bolak balik di hitung ulang, raut Arimbi semakin pias kembali semakin pucat.

"Kapan Rim?" tanya Wanda semakin penasaran.

Sekilas Arimbi terpejam sambil menarik nafas dalam dan kemudian menatap Wanda dan Septi bergantian. "Tiga minggu." ucap Arimbi pelan tapi jelas.

"Maksud kamu?" tanya Wanda memastikan.

Arimbi kembali menatap Wanda dan Septi bergantian. "Aku telat tiga minggu."

"Kamu yakin?"

"Iya." jawab Arimbi sambil mengangguk pelan.

Wanda dan Septi saling berpandangan trenyuh. Omigod! Ini ngalamat!

~~~oOo~~~


Gerimis di tengah langit yang cerah. Cuaca hari ini serumit perasaan Arimbi. Rasa takut di antara bungah yang membuncah. Bahagia di antara resah dan gelisah.

"Jangan jangan kamu hamil Rim?"

Ucapan Septi kemarin masih terus terngiang berulang ulang. Hamil? Setitik gentar perlahan menyeruak menakuti, tapi seutas senyum juga terkembang walau samar.

"Aku beneran hamil gitu?" guman Arimbi sambil mengusap perutnya yang masih datar.

Seandainya benar, berarti sekarang di dalam sana sedang tumbuh buah karya Bimo. Buah cinta yang mungkin akan menyatukan mereka seutuhnya. Tapi...

Tetap tidak bisa di pungkiri gentar juga semakin meraja. Hamil... Bagaimanapun juga Arimbi tetap remaja biasa yang takut menghadapi kenyataan. Hamil di luar nikah adalah bencana.

Menikah?

Satu satunya solusi dari ini adalah menikah. Tapi... Sekali lagi tapi yang menjadi musuh besar Arimbi. Tapi tentang apa bisa dia menikah dengan Bimo? Tapi tentang apa boleh dia menikah dengan Bimo? Hukum dan norma melarang mereka. Menempatkan tapi menjadi penghalangnya.

Tanpa terasa sepasang sudut mata Arimbi mulai berkaca kaca. Pelan bulir air mata satu persatu luruh. Sakit! Relung hati Arimbi perih mengetahui kenyataan itu. "Maafin Ibu ya Nak..." guman Arimbi lagi sambil terus mengusap pelan perutnya.

"Rim... tumben sih ngerem aja?" sapa Bimo sambil menyelonong masuk ke kamar Arimbi.

Buru buru Arimbi menghapus air matanya dan memasang topeng wajah biasa. Gampang. Arimbi sudah fasih dan ahli dalam berpura pura. Dia sudah terlatih.

"Jalan yuk?" lanjut Bimo sambil membanting tubuhnya di atas kasur Arimbi.

Bimo... Arimbi menatap lekat wajah ganteng bocah gemblung belahan hatinya itu. Cowok kampret, Ayah dari bayi yang -mungkin- sedang di kandungnya. Hampir topeng Arimbi retak melihat betapa dia sangat menginginya.

"Hoei!" Bimo melempar bantal ke arah Arimbi. "Malah ngelamun lagi! Mau nggak?"

"Eh... apa?"

"Apa apa!"

"Hehehe... sorry. Apa gitu?"

"Jalan yuk?"

Perlahan Arimbi menyusul duduk di tepian ranjang, meraih guling dan memeluknya erat. "Males ah."

"Tumben?"

"Bobok siang aja yuk?" Bimo langsung merenges senang mendengar itu. "Tapi nggak pakek nakal. Bobok aja, aku lagi pengen di pelukin."

"Ya udah deh... sini." Bimo mendengus kecewa sambil merengkuh Arimbi tidur dalam pelukannya. Entah kenapa Bimo juga merasa hanya ingin memeluk Arimbi. Hanya memeluk dan memberi kenyamanan.

Sementara Arimbi, sebelah hatinya berbunga bahagia di peluk mesra seperti ini. Nyaman. Teramat sangat nyaman. Pelukan yang ingin Arimbi miliki seutuhnya selamanya. Pelukan yang bisa menenangkan kemrungsung sebelah hatinya.

Tapi perih juga terasa menyayat di sebelah hatinya yang lain. Takut akan kenyataan. Takut hari esok yang harus di hadapi. Takut dia tidak lagi bisa memiliki pelukan hangat ini. Takut!

"Bim... I love you."

"Hehehe... sama." balas Bimo sambil mengecup pucuk kening Arimbi mesra.

Perlahan Arimbi beringsut memunggungi Bimo, menarik tangan Bimo, meletakkan di perutnya dan kemudian mengusapkan pelan. Ajaib! Usapan itu perlahan bisa mengusir takut yang sedari tadi menyelimuti. "Bimo harus tau." bisik batin Arimbi.

"Bim..."

"Hmm..." sahut Bimo sambil semakin erat memeluk dari belakang dan sesekali mengendusi wangi rambut Arimbi.

"Kamu cinta nggak ama aku?"

"Kan barusan udah."

"Ya jawab lagi aja napa."

"Ya cinta lah, cinta... Nggak cinta juga kamu paksa cinta kan."

"Hehehe..." Arimbi tersenyum kecut mendengar jawaban Bimo. Jawaban menyakitkan tapi memang begitu kenyataannya. "Aku jahat banget ya Bim?"

Bimo tidak menjawab dan hanya terus sesekali mengendusi rambut Arimbi.

"Bim..."

"Hmm..."

"Kamu beneran cinta aku nggak sih?"

Bimo mengerutkan sepasang alisnya bingung dengan pertanyaan aneh Arimbi. Pertanyaan cinta yang berulang ulang. Pertanyaan yang terlalu melankoli untuk manusia semodel Arimbi. Aneh!

"Maksud kamu itu opo to yho?"

Sebentar Arimbi menata nafasnya. Mengatur detak jantungnya. Mengumpulkan segenap nekat yang masih tersisa. "Bimo harus tau." bisik batin Arimbi terus meyakinkan.

Iya... Walau belum sepenuhnya yakin dan belum tentu pasti, Bimo harus tau. Harus! Lebih baik nekat dalam abu abu dari pada hanya mampu bergelung ragu.

"Bim..." panggil Arimbi lagi begitu setitik nekatnya sudah terkumpul.

"Iyaaa... ada apa sih?"

Arimbi kembali meraih dan mengusapkan tangan Bimo di perutnya. "Di... Di si-sini, di sini ada anak kita." ucap Arimbi akhirnya dengan segala nekatnya.

Jegluuuer!

Sesaat suasana langsung membeku, sepi tanpa ada lagi sepatah kata yang sanggup terucap. Arimbi terdiam, Bimo juga diam membisu. Anak? Entah Bimo harus bagaimana. Ketakutannya selama ini akhirnya menjadi nyata.

Mulutnya kaku, kelu tak sanggup bereaksi. Rasanya bumi ini berguncang hebat. Hujan rintik rintik di luar juga terasa seakan hujan badai dahsyat. Guntur yang menggelegar di sisi langit nun jauh di sana terasa semakin mengerikan. Horor! Ini bencana. Bencana paling menakutkan yang akhirnya menjadi nyata.

"Duh Gusti Sang Hyang Jagad Dewo Bathoro, kulo nyuwun agunging pangapuro..."

Tok tok tok...


Ketukan di pintu kamar Arimbi sontak mencairkan beku suasana itu. "Rim..." panggil Bu Hana dari luar. "Ada temen kamu nyariin tu?"

Sekilas Arimbi menghirup nafas dalam. "Siapa Buk?" sahut Arimbi kemudian.

"Aditya."

Sontak Arimbi mengerutkan alis bingung. Aditya? Mau apa lagi bocah itu ke sini. Asli, ilmu pengeyelan bocah satu itu sudah teramat sangat kronis. Edian! Ternyata Aditya mewujudkan ucapannya. Ini ngalamat suasana ruwet bakal semakin ribet.

Hadeeewh...

oOo


"Mau apa lagi sih Dit?" tanya Arimbi ketus sambil mentap Aditya galak.

"Lah... Kok apa sih, ya ngapel lah." sahut Aditya dengan santai.

Terlihat santai tanpa emosi sama sekali. Padahal aslinya, di dalam hati, Aditya bergemuruh panas saat tadi melihat Bimo juga keluar dari kamar Arimbi.

"Hehe... pacar?" Arimbi tersenyum sinis. "Ngimpi kamu Dit."

Aditya hanya tersenyum sambil kemudian beringsut mendekat. "Kita jalan yuk..." ajak Aditya tanpa punya malu.

Huaaaa...

Sumpah! Rasanya Arimbi pengen mengruwes ngruwes bocah ngeyel itu. Kalau perlu sekalian di mutilasi biar stop pengeyelan parahnya. Lama lama Arimbi mulai frustasi menghadapi tingkah Aditya itu.

"Ogiah!" sahut Arimbi ketus. "Udah deh Dit, stop gangguin aku napa. Kan udah aku bilang kita udah putus. Mending skarang kamu pulang aja, aku capek."

Sementara itu di dalam, dari ruang tengah, Bimo tanpa sadar merenges senang mendengar kata kata ketus Arimbi itu. Sedikit hatinya tenang, walau dia juga masih bingung dengan kabar Arimbi tadi di kamar.

"Modiar ndes... Modiar! Anak buto meteng coeg!

"Bim..." panggil Bu Hana dari dapur menyentak perengesan Bimo.

"Iya Bulik, apa?"

"Ibuk kamu telefon ni."

"Iya..."

"Kamu di suruh pulang, ada yang nyari kamu tu."

"Siaaapa?"

"Anita."

Jeglueeer!

Bimo langsung kembali diam membeku. Edian! Hampir Bimo lupa dengan cewek satu itu. Anita... Ujian nasional sudah usai, dan... ribet ini bakal semakin ruwet. Arimbi hamil, Aditya ngeyel, Anita juga ikutan ngeyel, Bimo...

Huaaaaa...!

Bimo semakin pozeng pala babi.

Komentar