Langsung ke konten utama

Cerita Bersambung - Arimbi - TEPOS DAN JONES

3.



Tepos dan Jones



~oOo~~~


"Hmmm... Mana dulu ya?" Bimo bingung harus memulai dari mana dulu. Minuman yang berderet rapi di depannya malah membuatnya dilema sendiri. Semuanya enak dan semua mengundang selera. Mana yang harus di nikmati lebih dulu?

Caramel Machioto. Cappucino. Vanilla Latte. Caffe Latte...

"Heeeeh!'' Bimo menggeram bingung sendiri sambil menjambaki rambutnya. "Ahaaaaay..." tiba-tiba terlintas sebuah ide di benaknya. Sebentar Bimo menata gelas-gelas minuman itu melingkar dan kemudian mulai...

Tong gembor pikulan banyu tombor

Ono kodok nyemplung tumbu

Tumbor owor-owor... Jeglung


Caffe Latte. Jeglung pertama jatuh pada Coffe Latte. Sambil clegukan tidak sabar, Bimo langsung mengangkat gelas keramik berisi Caffe Latte. Centi demi centi gelas itu mulai mendekat dan semakin dekat dan...

oOo


Blugh...!

"Guasyu!" Bimo melonjak kaget sambil langsung memasang kuda-kuda. "Ciat... Ciaaaat!" Jurus kunyuk melempar buah di siagakan, siap menyasar siapa saja yang menjadi lawannya.

Blugh...!

Belum sempurna kuda-kuda itu, hantaman telak sekali lagi menyasar wajahnya. "Egh..." Tanpa sempat menghindar, Bimo langsung terjengkang terkapar, dan kemudian gelap.

"Hahahaha..." Dalam gelap sementara, terdengar kekeh tawa renyah riang gembira. Suara itu, siapa lagi kalau bukan suara tawa Arimbi. Bimo mengejap-ngejapkan mata berusaha mengusir gelap pandangannya. "Oh sial... Caffe Latte ternyata hanya mimpi."

"Apaan sih?!" Begitu pandangannya pulih, Bimo langsung meraih guling dan siap membalas.

"Budheeeee..." Belum sempat Bimo menghantamkan guling itu, Arimbi sudah keburu kabur. "Budheeeee... Bimo nakal..." Arimbi kabur ke dapur, menyelamatkan diri di belakang Bu Sriati.

Cieeet. Posisi Arimbi yang ngumpet di belakang punggung Bu Sriati memaksa Bimo harus berhenti. "Apa apaan sih kalian?" Ujar Bu Sriati bingung dengan tingah dua bocah itu. Badan mereka saja yang besar, tapi tingkah mereka masih seperti bocah.

"Ari..."

Belum selesai Bimo beralasan. "Bimo tu Budhe. Nakal..." Arimbi sudah mendului mengadu.

"Bimo!" Bu Sriati melotot menyentak Bimo. Posisi Bimo yang membawa sambil mengacungkan guling membuat posisinya seketika terdakwa. Bukti lebih nyata dari alasan sebenarnya.

"Arim tu Buk..." Bimo berusaha membela diri.

"Haish... udah." Selalu dan selalu begitu. Bu Sriati selalu lebih memilih membela Arimbi dari pada dia, anak kandungnya sendiri. Tragis! Dari balik punggung Bu Sriati, Arimbi malah melet meledek.

"Aaah!" Bimo menggeram frustasi sambil berbalik kembali ke kamarnya. "Arimbi terus... Arimbi terus..." Runtuknya kesal.

"Cepet mandi, jogging kita." Teriak Arimbi dari balik punggung Bu Sriati.

"Ogiah!"

"Budheee..." Dan lagi-lagi jurus rajukan maut itu keluar. Wajahnya di bikin melas seimut-imutnya.

"Bimooo!"

"Iya Buk... Iya." Dengan gontai Bimo kembali masuk ke kamarnya. Sumpah serapah terafal dalam hati Bimo. "Sumpah demi pabrik Yamaha di Jepang sana. Dasar Arimbi Buto!" Bahkan dalam mimpi-pun Arimbi tetap menjadi Buto.

oOo


Setelah menghancurkan mimpi indah tentang Cappucino dan saudara-saudaranya, tanpa merasa berdosa sedikitpun, Arimbi sukses menyeret Bimo ke stadion, menemaninya jogging.

"Duh Sang Hyang Jagad Dewo Bathoro... inikan hari minggu gaes."

Bimo terus merengut kesal, sementara Arimbi tidak perduli. Arimbi dengan bersemangat terus menarik-narik lengan Bimo, memaksanya menemani berlari memutari stadion. "Dih... ayo lari. Lelet amat sih jadi cowok." Cicit Arimbi kesal karena Bimo terus menolak.

Bimo mengibaskan lengannya melepas genggaman Arimbi. "Capek tau!"

"Letoy ih."

"Biarin..."

Dari pada capek-capek lari, Bimo lebih memilih duduk manis sambil menikmati bodi-bodi bohai yang banyak bertebaran di sekitarnya. Bodi-bodi berbalut pakaian olahraga ketat itu terlalu sayang untuk di sia-siakan begitu saja. "Lumayan... Rekreasi mata."

Asik menikmati indahnya pemandangan bokong dan nenen, Bimo mengacuhkan Arimbi yang merengut kesal di sampingnya. Sepasang tanduk mulai tumbuh di belahan rambut Arimbi. Diacuhkan hanya karena bokong dan nenen, rasanya sungguh menyakitkan.

"Jelalatan amat sih muatanya!" Protes Arimbi sambil mencubit pinggang Bimo. "Kampungan!"

"Wattaw..." Bimo sontak berjingkat sambil meringis kesakitan. "Kenapa sih?!" Runtuknya kesal sambil mengusap-usap bekas cubitan itu.

"Seneng... seneng?"

"Ya seneng lah. Masalah?"

"Ya masalah-lah." Arimbi berkacak pinggang garang. Sepasang bola matanya membulat sempurna mengisyaratkan marah.

"Masalah dari mana gitu?"

"Kayak yang nggak pernah lihat aja sih, malu-maluin!"

"Lihat? Punya siapa? Punya kamu?" Bimo tersenyum sinis sesinis sinisnya. "Kecil tepos gitu buat apaan, nafsu juga nggak."

"Ngomong apa barusan?!"

"Nenenmu kecil." Jawab Bimo datar.

Arimbi mendelik sewot.

"Iya kan, orang cuma segini..." Sambung Bimo sambil membuat tanda setelangkupan tangan.

"Sembarangan!"

"Emang iya kok."

"Heeeeh!" Arimbi semremet emosi. Sumpah! Kalau saja bukan di tempat umum, Arimbi pasti sudah mengruwes-ngruwes mulut Bimo.

Walau kenyataan apa yang di katakan Bimo itu benar, tapi tetap saja kata-kata itu menyakitkan. Lagipula Arimbi kan masih dalam masa pertumbuhan. Arimbi yakin suatu saat nanti nenen-nya pasti bakal montok maksimal, bukan setelangkupan tangan lagi seperti yang di tuduhkan Bimo barusan.

"Udah kecil, pentilnya pakek mendelep lagi." Sambung ledakan Bimo.

Tanpa mereka sadar, setiap orang berbisik membicarakan mereka. Olok-olokan Bimo soal nenen Arimbi sukses membuat mereka menjadi pusat perhatian. Ada yang hanya tersenyum, bahkan ada juga yang memandang sinis.

"Ngeri ya Pa?" Bisik Ibu-ibu yang baru melintas sambil melirik sinis ke arah mereka.

"Iya Ma... sayang ya, bocah seumuran mereka sudah mesum kayak gitu." Jawab sang Suami sambil terus berlari bersisian dengan istrinya.

"Cantik-cantik kok mesum." Bisik yang lainnya.

"Yakin udah nggak perawan itu bocah."

"Ntu cewek marebu mau kali ya?."

Setiap orang di sana otomatis langsung melabeli Bimo dan Arimbi sebagai pasangan mesum. Lebih parah lagi, Arimbi di cap sebagai cewek murahan.

"Huh!" Arimbi mendengus kesal sambil kemudian berlari meninggalkan Bimo. "Apa barusan dia bilang? Cuma setelangkupan tangan? Terlalu!" Runtuk Arimbi.

"Yes!" Dalam hati Bimo berteriak senang melihat Arimbi ngambek. "Bimo silaaaaaaaan!" Dan dalam hati Arimbi memaki mengutuk Bimo dengan segala rafalan sumpah serapah yang dia kuasai.

Arimbi berlari dan semakin cepat berlari. Dengan berlari dia berharap ucapan itu tertinggal di belakang. Lelah, Arimbi akhirnya berhenti dan duduk bersandar di bawah pohon akasia. Tanpa sadar sepasang bola matanya berkaca-kaca.

"Marah ya?" Tanya Bimo datar sambil menyusul duduk di samping Arimbi.

"Huh!" Arimbi mendengus membuang muka. Mati-matian Arimbi berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Marah kenapa gitu? Emang kenyataanya ke..."

"Stop!" Arimbi langsung membekap mulut Bimo. "Diam!" Sepasang matanya yang berkaca-kaca menatap tajam, sampai akhirnya air mata itu tak lagi tertahan. Arimbi menangis.

"Jiaaaah... Nangis dia."

"Diaaaam!" Arimbi menjerit sejadinya. Air matanya-pun semakin deras mengalir.

"Yaelah... Gitu aja nangis."

Sekesal apapun, tapi Bimo tetap tidak tega kalau melihat Arimbi menangis. Ulu hatinya terasa perih, ruang jiwanya seakan kosong seketika. Aneh.

Perlahan Bimo meraih bahu Arimbi dan menarik ke dalam dekapannya. Arimbi meronta menolak, tapi Bimo memaksa dan semakin mengeratkan pelukannya. Akhirnya air mata Arimbi tumpah dalam dekapan Bimo.

Masa bodo dengan tatapan tatapan aneh yang di alamatkan kepada mereka.

~~~oOo~~~


"Kecil gitu buat apaan, nafsu juga enggak."

"Udah kecil, pentilnya pakek mendelep lagi."


Kata-kata Bimo waktu di stadion itu sukses meruntuhkan harga diri Arimbi. Kepercayaan dirinya seketika menguap tak bersisa. Efeknya, berhari-hari setelahnya Arimbi jadi murung. Hilang sudah Arimbi yang ceria, berganti Arimbi yang pemurung dan pendiam.

"Lebih kok setelangkupan." Guman Arimbi berusaha meyakinkan diri sendiri.

Jam istirahat sekolah, dan Arimbi malas untuk keluar kelas. Arimbi lebih memilih sendiri sambil mencari artikel-artikel tentang cara memperbesar ukuran payudara di laman internet.

"Kamu kenapa Rim?" Tanya Wanda.

Arimbi hanya melirik sekilas. "Nggak."

Wanda melirik handphone Arimbi, dan kemudian tersenyum mengetahui apa yang sedang Arimbi baca. "Mo nggedein nenen?" Tebak Wanda tepat sasaran.

Arimbi hanya melirik mendelik.

"Emang pengen segede apa sih Bu? Segede Jupe gitu?" Lanjut wanda sambil terus tersenyum manis.

"Mo tau aja sih." Tanpa sengaja Arimbi melirik dada Wanda. Entah kenapa tiba-tiba Arimbi jadi membenci bocah itu. Kenyataan kalau dada Wanda montok dan besar seketika membuatnya sebal.

Wanda. Di usianya segitu, ukuran dada Wanda sudah bisa di bilang maksimal. Bahkan seragam sekolahnya hampir tidak sanggup menampung ukuran dada itu. Dan jujur, dengan dada sebesar itu Wanda terlihat lebih menarik, walau secara wajah Arimbi lebih cantik.

"Wan..."

"Heh..."

"Cara nggedein nenen gimana sih?" Tanya Arimbi kemudian.

Wanda sebentar menatap dalam teman sekelasnya itu. "Serius pengen tau?" Sahutnya balik bertanya.

Arimbi mengangguk yakin.

"Sini sini..." Wanda mendekat ke telingan Arimbi dan kemudian membisik di sana.

"What?!"

oOo


Di kantin luar sekolah, Bimo sedang nongkrong dengan duo sohibnya, Andri dan Revan. Bertiga berkumpul, apalagi yang mereka bahas kalau bukan masalah motor dan tetek bengek seputarnya.

"R6 harganya berapa sih?" Tanya Revan sambil membuka-buka gambar Yamah R6 di Google images.

"Pengen?" Sahut Bimo.

Revan mengangguk.

"Kuat Bapakmu ngebeliin cuin?" Ledek Andri sambil mengusap mesra pipi Revan.

"Huanjriet!" Revan mengibaskan tangan Andri yang nakal menjamah pipinya. "Kuatlah..." Sahut Revan kemudian berhenti. "Kali..." Lanjutnya.

"Mimpi aja sono." Pongah Bimo sambil menoyor kepala Revan.

Menilik latar belakang Revan, sepertinya sulit mewujudkan impian R6 bocah itu. Jangankan R6, Ninja R 150 seperti punya Andri saja dia belum keturutan. Sementara ini, Revan harus cukup puas dengan Mega Pro generasi pertama miliknya.

Cowok sejati itu oper gigi, bukan tegak lurus kaki ngempit. Ledek Revan saat Bimo masih terpaksa mengendarai Yamaha Mio J dulu. Dan sekarang, ledekan itu sukses berbalik sendiri. Bimo, Andri, dan Revan. Tinggal Revan satu-satunya yang masih memakai motor pasaran, motor murah Low End.

"Ni..." Andri menyodorkan handphonenya tepat di depan wajah Revan. "230 juta."

Revan tersenyum kecut. "Kira-kira sapi Bapakku kalau di jual dapet duit segitu nggak ya?"

"Ngimpi..." Kompak Bimo dan Andri menoyor kepala Revan bolak-balik bertubi-tubi.

"Haish haish haish..." Revan menangkis sambil menghidari toyoran brutal kedua sahabatnya itu.

"Kesiangan ngimpi bisa gila kamu ntar." Ledek Andri.

"Kamu itu udah cukup mentok selfi pakek motorku terus di upload, kalo ngarepin punya nggak usah, levelmu nggak nyampek." Sambung Bimo.

"Tapi paling nggak akukan punya Wanda." Revan balik menyerang. "Sekarang ganti kalian yang cuma Bisa mimpi."

Jurus pamungkas akhirnya keluar. Walau Bimo punya tongkrongan keren, walau tampangnya lebih ganteng, tapi entah pelet dari mana yang di pakai Revan sampai Wanda bisa terkintil-kintil. Cewek berdada besar paling nafsuin sesekolahan itu mau-maunya di bonceng Mega Pro tua.

"Kan kan... Diem kan..." Revan berjoged-joged lucu. "Hwahahahaha..." Dan tertawa senang melihat Bimo terdiam seketika.

Sementara Andri, bocah itu hanya senyam-senyum simpul.

"Sombong!" Bimo mendengus kesal. "Cakepan juga Arimbi."

"Hwahahahahaha..." Sontak Andri dan Revan balik menertawakan Bimo. "Cakep juga kalau nggak berani macarin buat apaan gaes?" Sambung Revan.

Bicara soal Arimbi. Kalau boleh jujur Bimo sebenarnya teramat sangat mengutuk keberadaan Arimbi di sekitarnya. Karena Arimbi, sampai saat ini Bimo harus ikhlas menyandang status Jones, Jomblo Ngenes. Arimbi selalu membuat masalah setiap dia akan dekat dengan cewek, siapapun itu.

Cup!

Plak!


Masih segar dalam ingatan Bimo bagaimana ulah Arimbi saat dia nembak Anita waktu itu. Dengan songongnya Arimbi tiba-tiba muncul dan mencium bibirnya tepat di depan Anita, tepat saat dia menyatakan cinta, dan sedang harap-harap cemas menunggu jawaban Anita.

Dan hasilnya... Selain jawaban Tidak yang jelas, tamparan keras Anita juga telak menyapa pipinya. Kemaluannya sukses membesar maksimal mendapat hadiah tamparan di tempat umum seperti itu. Ngenes!

"Tu Arimbi pacarin aja napa sih Bim?" Ujar Andri kemudian.

"Ogiah."

"Kanapa coba?" Sahut Revan.

"Iya sih... Cakep juga kan si Arim, pakek banget malah cakepnya." Sambung Andri.

"Hehe..." Bimo tersenyum sinis. "Arimbi sih nggak usah di pacarin, hamilin aja langsung." Celetuknya kemudian.

"Coba aja kalau berani!"

Huanjriet! Sejak kapan Arimbi tiba-tiba berada di belakangnya. Sontak Bimo hanya bisa cengengesan sambil garuk-garuk tengkuk sementara Arimbi berkacak pinggak melotot nyalang. Mampus! Ngalamat Buto ngamuk, lagi.

~~~oOo~~~


Mencela kekurangan fisik dan melecehkan. Dua hal yang teramat sangat di benci setiap perempuan di muka bumi ini. Dan dua hal itu dengan entengnya meluncur liar dari mulut Bimo.

"Arimbi sih nggak usah di pacarin, hamilin aja langsung." terlebih ucapannya itu tadi siang.

Sumpah, itu ucapan yang sangat sangat sangat keterlaluan. Ucapan yang menjatuhkan Arimbi ke dasar terendah kehormatan seorang perempuan, titik paling hina dalam sejarah manusia.

"Bimo!" Bu Sriati melotot garang. Rahang perempuan paruh baya itu gemeretak kuat menahan emosi. "Kamu apain Arimbi?!"

"Engga..." Belum selesai Bimo beralasan.

"Kamu apain Arimbi?!" Ulang Bu Sriati dengan intonasi semakin meninggi.

Akhirnya Bimo hanya menunduk diam. Beralasan untuk hal menyangkut Arimbi sama dengan bunuh diri. Entah karena apa, di mata Ibuknya Arimbi adalah prioritas utama, sementara dia anak kandungnya hanyalah nomor dua.

Dengan geregetan Bu Sriati kemudian menjewer Bimo dan menarik kuping bocah itu keluar rumah. "Aaow aow aooow...!" Bimo meringis kesakitan. "Sakit Buuuk."

Bu Sriati semakin melotot lebar. "Sekarang... kamu minta maaf sama Arimbi!"

Bimo hanya diam menunduk.

"Cepeeeet!" Bu Sriati menjerit sejadinya. Ibunda Bimo itu benar-benar marah dengan ulah bocah gemblung itu. "Arimbi terus... Arimbi terus..." Runtuk Bimo kesal. "Kalau belum di maafin Arimbi, minggat aja. Nggak usah pulang!" Sambung Bu Sriati sambil membanting pintu.

Bruagh!

oOo


Sesaat Bimo ragu memasuki kamar Arimbi. Dari celah pintu, walau tengkurap membenamkan wajah di bantal, terlihat jelas kalau gadis itu sedang menangis. Tiba-tiba ulu hati Bimo kembali terasa perih, ruang jiwanya langsung kosong seketika.

"Rim..." Perlahan Bimo melangkah masuk dan duduk di tepian ranjang Arimbi. "Rim..." Dengan lembut Bimo mengusap lengan gadis itu.

"Hiks hiks hiks..." Bukannya diam, tangis Arimbi malah semakin keras kerenanya.

"Kamu kenapa sih Rim?" Dengan lembut Bimo menarik tubuh tengkurap Arimbi. Mata gadis itu sembab dan bengkak. Tatapan kebencian begitu terasa. "Kamu kenapa?" Betapa bodohnya Bimo menanyakan itu, padahal dia tau pasti apa jawabannya.

Arimbi tidak menjawab. Dia hanya menatap Bimo tajam.

"Rim..." Bimo mengusap lembut Arimbi, menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Tidak ada respon dari Arimbi. Dia masih hanya terus menatap tajam.

"Maafin aku ya?" Entah kenapa perih ulu hatinya sedikit berkurang setelah mengucapkan kalimat itu. "Maaf ya." Ulangnya lagi.

Arimbi masih hanya diam. Tangisnya sudah berhenti, tinggal menyisakan isakan-isakan pilu.

"Cup." Bimo mendaratkan kecupan manis di bibir Arimbi. "Maaf ya sayang."

Arimbi masih diam, belum ada respon sedikitpun dari gadis itu. Tapi Bimo sedikit bisa bernafas lega. Entah karena apa, rasa perih di ulu hatinya semakin berkurang, ruang hampa jiwanya sedikit demi sedikit mulai terisi.

Dengan lembut Bimo membelai rambut Arimbi. "Jangan nangis. Jelek tau." Ucapnya sambil menowel hidung mancung Arimbi.

Sesaat Arimbi menghela nafas dalam. "Tutup pintu." Katanya serak tiba-tiba.

"I-iya..." Tanpa menunggu dua kali, Bimo langsung berlari menutup pintu. Rasanya plong seketika. Sumpah demi Valentino Rossi sang dewa balap, suara Arimbi adalah suara termerdu sejagad raya.

"Kunci." Sambung Arimbi.

Selesai menutup dan mengunci pintu, Bimo segera kembali lagi ke tempatnya semula. "Udah tu." Suasana hening sesaat. Bimo dan Arimbi saling diam, mereka hanya saling memandang dalam.

Tik

Tok

Tik

Tok

Tik

Tok


"Aku itu kamu anggap apa sih?" Tanya Arimbi serak sambil menyeka sudut matanya.

Bimo menatap mata Arimbi semakin dalam. Dia hanya bisa diam tidak tau harus menjawab apa. Karena pada kenyataannya jawaban itu memang tidak ada. Entahlah...

"Aku cantik nggak?" Tanyanya lagi.

"Cantik." Kali ini Bimo menjawab yakin dengan cepat. Karena jawaban itu nyata. Dari sudut manapun dia, Arimbi memang cantik. Teramat sangat cantik malah.

Sekilas Arimbi tersenyum sambil kemudian melepas semua pakaian yang di kenakannya. "Rim?" Arimbi tidak menjawab. Dia terus melepas semua sampai tubuh indahnya itu akhirnya tergolek menggoda tanpa mengenakan apa-apa. Polos.

"Ukur sendiri." Arimbi meraih tangan Bimo dan meletakkan di dadanya.

"Rim?" Bimo masih bingung dengan apa yang Arimbi lakukan. Sumpah! Seketika jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Baru Bimo menyadari, Arimbi ternyata seindah ini. Bodohnya dia melewatkan keindahan itu begitu saja selama ini.

"Setelangkupan?"

Bimo menggeleng, karena memang itu kenyataan-nya.

Tanpa sadar Bimo malah mengusap lembut dada Arimbi, memutar lembut jemarinya di sana, merabai halus mulus kulitnya. Akal sehatnya telah terkurung terpenjara.

"Eh..." Sesaat Arimbi menahan nafas. Perasaannya seketika tak menentu. Bukan kali pertama Bimo nakal merabai dadanya, tapi kali ini, tanpa terhalang apapun rasanya berbeda. Ada rasa aneh yang belum pernah dia rasa sebelumnya.

"Cup." Belum sempat Arimbi sadar apa yang sedang terjadi, tiba-tiba bibir Bimo hinggap di bibirnya dan melumat di sana. "Bi-Bim..." Tubuh Arimbi bergidik melenting saat Bimo memainkan ujung dadanya, memilin lembut putingnya yang perlahan mulai mengeras.

Seharusnya Arimbi marah, tapi pada kenyataannya tidak. Arimbi malah merespon segala kenakalan Bimo. Bibirnya terbuka membalas pagutan Bimo, tangannya memeluk erat Bimo yang entah dari kapan sudah menindihnya. "Eeeeengh..." Sayup Arimbi mulai melengguh.

Sesaat Bimo melepas pagutannya dari bibir Arimbi. Di pandanginya seraut wajah ayu yang tergolek pasrah di hadapannya itu. "Cup." Sebentar Bimo mengecup kening Arimbi kemudian kembali melanjutkan cumbuannya.

"Eeeeeeh... Bim..." Arimbi menggeliat lirih saat kecupan Bimo mendarat di lehernya dan meninggalkan tanda kemerahan di sana. "Aaaaaeh... Bim... ja-janga... eeeeeeh..."

Dengan lembut jemari Bimo malah merayap nakal menyusuri lekuk tubuh Arimbi. Merabai setiap inci yang ada. Jemari itu terus meraba turun sampai akhirnya...

"Bim..." Arimbi menggeleng sayu. "Ja-jangan." Arimbi menahan tangan Bimo yang parkir di selangkangannya.

Bimo sesaat tersenyum. "Kamu cantik."

Belum selesai Arimbi bersemu merona, "Eeeeeeeeh..." tiba-tiba tubuhnya melenting hebat. "Aaaaah..." Kesadarannya seketika menguap, membebaskan jemari Bimo leluasa mengusap garis selangkangannya yang basah. "Bim... Aaaaaauh..."

Sepasang bocah itu bercumbu semakin liar. Nafsu telah mengalahkan semuanya. Nafsu telah membunuh amarah Arimbi. Sakit benci dan sedih tadi kini telah berganti rasa. Rasa yang belum pernah di rasa, rasa aneh tanpa nama.

"Bim... jangan." Arimbi menggeleng lemah. Matanya menatap Bimo nanar. Entah dari kapan Bimo sudah telanjang bulat. "Jangan Bim..." Sesuatu yang berdiri tegak di selangkangan Bimo membuat Arimbi bergidik ngeri. Takut sekaligus tersipu malu.

"Bim... Ja-jangan..." Hanya itu yang sanggup di lakukan Arimbi. Sementara sendi-sendinya seakan lemah tanpa daya, menurut begitu saja saat Bimo menyingkirkan tangannya. Dug dug dug dug... Jantungnya berdetak kencang, sepasang pahanya terkangkang sempurna seakan mempersilahkan Bimo memposisikan diri.

"I Love you Rim."

"Aaaaaaaaaaauh... Bimoooooo...."

~~~oOo~~~





Bersambung







4. Biarlah Rahasia

Komentar