Langsung ke konten utama

Cerita Bersambung - Arimbi - GADIS EDAN BUKAN PERAWAN

21.



Gadis Edan Bukan Perawan



~oOo~~~

Seharian ini Arimbi terus nempel tidak mau lepas dari Bimo. Arimbi bukan hanya sekedar ngintil, tapi dia juga melayani segala tetek bengek Bimo persis seperti seorang Istri yang berbakti. Omigod! Mungkin Arimbi sedang berhayal atau belajar untuk persiapan nanti kalau dia menjadi Ist... Ah sudahlah.

"Monggo silahkan Suamiku sayaaaang..." Ucap Arimbi sambil meletak-kan segelas kopi di meja.

Bimo langsung mendelik kaget. Njier! Gawat kalau sampai Ibu dan Ayah-nya mendengar itu. Bisa bisa bakal ada interogasi, ada kultum, dan berakhir dengan hukuman pancung. Tapi namanya juga Arimbi. Semakin di larang dia bakal semakin menjadi. Dan lagi lagi Bimo tidak bisa berbuat apa apa. Di selalu kalah dan harus mengalah. Dapuk!

"Haish!" Bimo langsung mengibaskan -pelan- tangan Arimbi yang nakal mengusap pipinya. "Omongan-mu itu loh Rim!"

"Yeeee... Kenaaapa?" Sahut Arimbi sok berlagak pilon. "Kita kan emang Suami - Istri. Buktinya kan semalem kita udah ngen..."

"Udah diem!" Buru buru Bimo langsung membekap mulut Arimbi sebelum berceloteh lebih bahaya lagi. "Ngomong gitu sekali lagi, tak cipok sekalian ntar!"

Guoblog! Pemilihan ancaman yang teramat sangat salah. Bukan-nya jadi takut, Arimbi malah merem dan memonyongkan bibir siap siap menerima cipokan. "Mauuuu..."

"Hais!" Dengan gemas Bimo langsung mengeruwes bibir monyong Arimbi. Bibir manis yang merekah merah muda alami yang sebenarnya lebih pantas di cipok dari pada di kruwes seperti itu.

"Ih..." Arimbi langsung mendelik sambil merengut manyun. "Bimo sadis! Masa Istr..."

"Njier!" Bimo kembali membekap mulut bawel Arimbi. "Kampret ih! Lama lama tak lakban juga ni mulut!" Arimbi berusaha meronta, tapi Bimo malah semakin erat membekap mulut Arimbi "Bisa diem nggak?!" Akhirnya Arimbi mengangguk pelan dengan terpaksa. "Awas kalau lagi lagi!"

"Bimo nakal!" Sudut mata Arimbi lambat mulai berkaca kaca. Lirih isakan mulai terdengar, Arimbi menangis. Entah itu tangis beneran atau hanya sekedar air mata buaya. Lagi pula kenapa Arimbi menangis? Entahlah...

"Hayooo... Kenapa lagi?!" Tegur Bu Sriati tiba tiba.

Dengan terisak semakin lebay, Arimbi langsung berlari menghambur memeluk Bu Sriati. "Bimo nakal Budhe..." Adunya sambil membenamkan wajah-nya manja di pelukan Bu Sriati.

Langsung... Macan galak langsung meringis garang mendapat pengaduan dari Arimbi si anak kesayangan. "Apa lagi to Bim?!" Bentak Bu Sriati sambil melotot galak. "Nggak bosen apa?! Dari duuulu di bilangin suruh ngalah juga!"

"Iya..." Bimo menunduk takut. Wajah ganteng-nya seketika pucat pasih, ngeri kalau kalau Arimbi nekat mengadukan kejadian semalam. Kejadian fantastis yang mustahil dia pertanggung jawab-kan mau sampai ke belahan dunia manapun. "Ah... Nggak mungkin." Tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan. Arimbi gitu loh...

"Kamu di apain lagi ama Bimo?"

"Di nakalin."

"Di nakalin gimana? Ada yang sakit?" Arimbi mengangguk pelan. "Di mana yang sakit?"

"Di sini Budhe..." Sahut Arimbi sambil mengusap dada-nya. "Di dalam hatiku."

"Haaaiyah..." Sekilas Bu Sriati menatap Bimo dan Arimbi bergantian. "Udah! Cepet maafan!"

Bimo perlahan mendekat sambil menunduk patuh. Tapi sumpah Bimo keki setengah mati. Dari balik dekapan Bu Sriati, Arimbi meledek memainkan sepasang alisnya naik turun. "Maafin aku ya Rim..." Ucap Bimo terpaksa.

"Udah tu... Bimo udah minta maaf. Di maafin nggak?" Tanya Bu Sriati sambil membelai rambut panjang Arimbi yang hitam indah tergerai.

Arimbi mengangguk lebay. "Iya... Di maafin." Dan kemudian mengacungkan jari kelingking-nya. "Tapi janji nggak nakalin Arim lagi."

"Iyaaa..." Bimo membalas mengaitkan kelingking mereka. "Janji muatamu suwek!"

"Udah... Awas kamu kalau nakalin Arimbi lagi!" Bu Sriati sedikit mendorong melepas pelukan Arimbi. "Ama Adik-nya itu harus ngalah Bim!" Dan kemudian pergi kembali ke dapur.

Tipis Bu Sriati tersenyum. Sebenarnya lucu, tapi ya memang begitu adanya. Arimbi dan Bimo itu akur kalau berantem seperti itu. Kalau mereka anteng meneng berarti malah sedang tidak akur. Dan Bu Sriati senang mereka kembali seperti itu.

"Hehehe..." Sepeninggal Bu Sriati, Arimbi langsung merenges puas. Anak buto kembali menunjuk-kan bentuk aslinya. Bentuk yang rada rada horor di balik casing wajah-nya yang cantik dengan senyum manis berhias sepasang gigi kelinci. "Kan... Makanya jangan cem macem ama aku."

"Heeeh!" Sumpah Bimo geregetan setengah mati. Sudah dari jaman dahulu kala, Bimo paling benci dengan perengesan itu. Perengesan meledek dan berarti kemenangan Arimbi. "Aaah... Serah kamu deh. Capek ngomong ama kamu!" Dengan sebal Bimo kemudian berbalik meninggalkan Arimbi.

Cepat Arimbi langsung menahan lengan Bimo. "Eh... Mo kemana?"

"Emang perlu ya laporan?" Arimbi mengangguk nyebelin. "Aku mo nyuci motor. Puas?!" Dan sekali lagi mengangguk malah semakin nyebelin.

"Terus aku-nya ngapain?"

"Serah! Mo njedotin pala ke tembok juga boleh!"

"Bimo maaa..."

"Kenapa lagi Rim? Bimo nakal lagi?" Ela busyet... Ternyata Bu Sriati bisa mendengar dari dapur. Sebelum Arimbi menyahut, Bimo langsung memelototi Arimbi. Tapi itu bukan pelototan galak. Itu pelototan menghiba alias memohon alias memelas. Hadeewh!

"Enggak kok Budhe... Bimo mah udah baik sekarang." Sahut Arimbi mengerlingkan mata genit.

"Fiuh..." Bimo langsung menghela nafas lega. Tapi biarpun begitu Bimo juga harus tetap waspada. Arimbi itu ibarat mercon bantingan yang bisa langsung meledak kalau lepas jatuh. Tapi sudahlah... Arimbi mah emang gitu orang-nya.

"Kan... Ampe lupa kan ama kopi."

oOo

"Ini baru motor... Lha itu mah apa? Motor kok mem... Eh... Bebek." Guman Bimo meledek Suzuki Tornado yang baru saja melintas. Bimo bahkan sengaja menepuk nepuk tangki motor-nya pamer saat tadi pengendara motor itu menoleh menyapa-nya.

Dasar bocah gemblung! Hobi kok pamer... Tapi kalau Bimo cuma bisa pamer motor keren, Arimbi malah lebih sadis lagi. Arimbi pamer bodi seksi.

"Huanjriet!" Bimo langsung melocat kaget begitu membuka pintu kamar-nya. Sumpah demi apa coba? Di atas kasur, Arimbi tergolek seksi hanya bercelana dalam sambil berpose merangsang menggoda. Sesekali Arimbi juga mendesah sambil menggeliat erotis. Edian!

"Nyuci motornya udah selesai sayang?" Tanya Arimbi sambil semakin memperseksi posenya.

Bimo buru buru langsung menutup pintu sebelum ada yang melihat pose jahanam Arimbi itu. "Kamu ngapain sih nggak pakek baju?! Masuk angin baru tau rasa!"

"Jhangan mashukz aehngin dhong... Di masyukhin kamuh ajah." Sahut Arimbi dengan suara di bikin semendesah mungkin. Tidak cukup sampai di situ. Masih dengan menggeliat erotis, Arimbi perlahan merubah posisi pose-nya semakin merangsang lagi. Arimbi mengangkang. "Tapih mahsukin-nya pehlan pehlan ajah yah Bim... Masih raehdah perih."

Bimo hanya bisa menggeleng sambil menarik nafas sedalam dalam-nya heran dengan ulah Arimbi itu. Entah Arimbi sudah kesambet setan mesum dari mana. Yang jelas Arimbi mesum mampus, gila! Dan yang lebih parah lagi, Arimbi jadi terlihat murahan.

"Guayamu itu loh Rim... Udah kek jablay nggak laku aja sih!"

"Ya biarin... Ngejablay-nya juga ama kamu doang ini. Makanya cepetan di belai dong... Biar nggak jarang di belai lagi."

"Udah ah!" Bimo kemudian melepas kaos-nya dan melemparkan-nya ke Arimbi.

"Kok kesitu? Dedek Arim-nya kan di sini..." Tanya Arimbi saat Bimo malah berjalan ke arah kamar mandi, bukan-nya menyusul naik ke kasur dan bergulat seronde dua ronde.

"Mo mandi!" Sahut Bimo sambil masuk dan mengunci pintu kamar mandi. Sebenarnya Bimo jarang dan malah tidak pernah mengunci pintu kamar mandi. Tapi sekarang keadaan beda, Arimbi sedang bahaya. Bukan tidak mungkin Arimbi bakal menyusul masuk dan memperkosa Bimo.

Di perkooosa?

Goblog sih kalau Bimo menolak di perkosa cewek secantik dan seseksi Arimbi. Itu anugerah peristiwa langka dan jarang jarang terjadi. Tapi segemblung gemblung-nya Bimo, dia masih takut juga menghamili anak orang. Terlebih lagi kalau cewek itu Arimbi. Tapi... "Ah... semoga si kecil lucu masih kuat menahan iman."

"Hadewh..." Bimo langsung melengguh lemas begitu keluar dari kamar mandi. Sumpah demi apa coba?! Eh Ternyata Arimbi masih setia berpose menggoda di atas tempat tidur. Edian! Padahal tadi Bimo mandi-nya sudah sengaja di lama lamain. "Kamu tu nggak capek apa pose kek gitu terus?"

"Enggak." Sahut Arimbi sambil menggeleng manja. Dan kembali Arimbi menggeliat geliat erotis persis kayak cacing kepanasan.

"Udah pakek baju gih... Aku mo makan. Siapin."

"Terus aku-nya nggak apa apain ini?" Arimbi menatap Bimo dengan penuh harap. "Udah siap kek gini juga... Bukan-nya langsung di eksekusi."

"Ntar malem aja."

Guoblog! Sekali lagi Bimo memberi jawaban goblog. Padahal sudah jelas jelas kalau bagi Arimbi ucapan itu pasti berarti janji. Dan tau kan bagaimana Arimbi kalau menagih janji? Hehe... Ngalamat Bimo hanya bisa pasrah. Wattaw...!

"Beneran ya." Arimbi langsung melompat girang dan kemudian memeluk Bimo manja. Satu dua kali kecupan menyasar pipi Bimo. "Tapi entar pelan pelan aja ya, masih sakit. Masih kerasa ngeganjel tau ampe sekarang. Abisnya gede banget sih..."

"Iya iyaaaa... Ah!"

oOo

Dan benar saja. Selesai makan Arimbi langsung menangih janji bodoh Bimo tadi. Bahkan Arimbi tidak ada malu malunya lagi merengek genit di depan Pak Edi dan Bu Sriati. Padahal hari juga masih sore masih selepas maghrib. Belum pantes buat masuk kamar kecuali mau ngapa ngapain. Dapuk!

"Bentar apa ah..."

Sekali dua kali Bimo terus berusaha menolak, tapi Arimbi juga semakin militan merengek. "Udah sono apa Bim..." Dan akhirnya Bimo terpaksa melambaikan tangan ke kamera setelah Bu Sriati ikut campur.

"Ya udah... Hayuk."

"Hehehe..." Arimbi merenges senang. "Dari tadi kek." Sambil kemudian langsung menarik Bimo masuk ke kamar.

Bu Sriati menggeleng pelan sambil tersenyum melihat tingkah dua bocah itu. Senang rasanya melihat Arimbi tersenyum. "Napa senyam senyum Buk?"

"Eh Bapak... Ngagetin aja sih." Bu Sriati hanya sedikit melirik sambil terus tersenyum semakin lebar. "Tu... Bocah dua tu. Nggak nyangka ya kalau mereka ternyata udah gede."

"Lha... Kemarin kemarin Ibuk kemana aja, kok baru tau klo mereka udah gede."

"Mulai deh... Maksudnya bukan gitu Paaak. Ya Ibuk nggak nyangka aja mereka udah segede itu. Perasaan Ibuk kek yang baru kemaren mereka bayi. Eh sekarang...

"Awas lo Buk... Mereka udah gede."

Sesampainya di kamar Bimo langsung menutup dan mengunci pintu. "Udah... Sekarang mo ngapain?" Tanya Bimo kemudian sambil menyalakan DvD player biar apapun yang terjadi nanti tidak terdengar dari luar.

"Kok ngapain sih...

"Fiuh..." Bimo pelahan menghampiri dan duduk di pinggiran kasur. "Kamu itu sebenarnya kenapa sih Rim? Kenapa kamu jadi kek gini? Emang bekas semalem udah nggak sakit?"

"Mayan sih... Tapi enak kok."

"Ya mangkanya... Lagian juga kita begituan itu salah loh Rim, dosa. Udah lah... Kita jangan kek gitu lagi ya? Udah cukup sekali itu dong. Oke..."

Sekilas Arimbi menatap tajam tepat di mata Bimo. "Kan aku kek gini ini juga gegara kamu kok. Kan kemarin aku udah bilang... Kamu cuma milik aku, dan ini cara aku buat mertahanin kamu."

"Ya tapi cara kamu itu salah Rim. Terus belum lagi kalau, Aaah..." Sebentar Bimo meraup wajah-nya pusing. "Kalau kamu sampek hamil gimana coba?"

"Kamu juga salah... Orang kamu yang goyang kok. Tapi bodo! Aku maunya begini. Malah sukur klo aku ampe hamil. Bagus... Dengan begitu kamu nggak bakal bisa lari lagi."

"Huuuh..." Bimo mendengus berat. Sumpah! Ngomong sama Arimbi itu lebih susah dari pada ngomong sama tembok. "Kamu pernah mikir nggak sih gimana perasaan aku?"

Arimbi menggeleng pelan. "Aku nggak usah mikir. Jelas perasaan kamu pasti sama kok ama aku. Kamu kan cinta aku..."

"Hehe..." Bimo sekilas tersenyum sinis "Tau dari mana?"

"Dih... Kan kamu sediri semalem yang bilang kalau kamu cinta aku. Kalau kamu juga nggak siap kehilangan aku. Kamu juga patah hati ampe hampir gila pas aku ujug ujug milih Aditya. Kamu sendiri kan yang bilang..."

"Ya tapi kan..."

"Udah ah bicik!" Arimbi langsung mendorong dan menindih Bimo. "Kita di sini bukan buat ngobrol." Ucap Arimbi sambil kemudian langsung menyosor bibir Bimo. Sedetik Bimo sempat gelagapan mendapati serangat brutal Arimbi itu. "Tapi buat bikin dedek!"

"Hei... Stop dulu!"

"Kenapa? Kamu nggak mau?"

"Terus nasib Anita ama Aditya mo di gimanain? Pikirin juga dong perasaan mereka nanti bakal kek gimana? Kamu tu jadi manusia jangan egois gitu napa sih!"

Arimbi langsung merengut sebal mendengar nama Anita. "Perasaan mereka aku ora urus! Mo seteres kek mo sakit ati kek mo apa juga kek, aku ora urus! Yang jelas aku mau besok kamu putusin Anita. Harus besok! Atau kalau enggak..."

"Tapi Rim..."

"Eh Ingat ya... Aku sekarang udah jadi gadis bukan perawan. Dan itu hasil perbuatan kamu. Kamu nggak bisa lepas, kamu nggak bisa lari. Kamu punya janji juga punya tanggung jawab. Aku!"

"Hadewh... Kamu kejam Rim." Bimo hanya bisa menggeresah resah. Hari besok sepertinya bakal suram, sesuram langit langit kamar yang kotor penuh sarang laba laba.

"Bodo!"

Mau di bilang ini salah terlalu belebihan ekstrem atau apa, terserah. Yang jelas inilah cara Arimbi. Cara untuk merebut cintanya, mempertahankan diri dari ambang gila sebelum dia benar benar gila. Katanya cinta itu buta, dan Arimbi sudah benar benar buta karena cinta.

Buang jauh jauh gengsi atau rasa malu. Juara adalah manusia yang tahan malu. Pemenang adalah pejuang, dan Arimbi sekarang sedang berjuang.

Jalan memang masih berliku. Kadang sebersit kasian juga menyeruak. Tapi Arimbi buru buru menepis rasa kasian itu jauh jauh. Cinta itu kejam. Dan hanya manusia kejam dan egois yang mampu mempertahankan cinta-nya. Apapun dan bagaimanapun caranya.

~~~oOo~~~

Hari ini Bimo rasanya malas berangkat ke sekolah. Badan-nya terasa remek setelah bergulat tiga ronde semalam. Bukan hanya masalah remek-nya badan yang membuat Bimo malas. "Pokok-nya hari ini kamu harus mutusin Anita. Awas kalau nggak!" Tapi juga bingung dengan ancaman Arimbi itu.

Dan Bimo tambah lebih bingung lagi karena pagi ini Anita terlihat begitu cantik menggoda. Sumpah, Anita pagi ini sempurna. Dalam balutan seragam putih abu abu, dengan pita kupu kupu warna ungu yang menghias cantik rambut hitam panjang-nya yang tergerai. "Sumpah aku nggak kuat Maaak..."

"Kamu kenapa Bim? Kek yang resah gitu?" Tanya Anita begitu melihat raut Bimo yang agak aneh pagi ini. Dan lagi tumben pagi ini Bimo datang dalam damai, tidak banyak polah seperti biasanya.

"Ah enggak... Cuma lagi golan aja."

"Galon kenapa?"

Bimo sekilas melirik Anita yang duduk manis di samping-nya. Rasanya terlalu sadis untuk menyakiti hati cewek secantik itu. Dan parah-nya menyakiti untuk yang kedua kali. Duh Gusti kulo nyuwun pangapuro...

"Galon mikirin ujian." Sahut Bimo beralasan.

"Ya makanya klo aku bilangin belajar itu ya belajar. Klo di ajakin belajar bareng itu yang semangat. Jangan malah mikirin mes..."

"Hais!" Bimo langsung menutup mulut Anita sebelum bercicit lebih panjang lagi. Kalau Anita seperti itu, dia bakal semakin persis dengan Arimbi. "Udah ah... Ayo berangkat."

Sekilas Anita melirik jam yang melingkar indah di pergelangan tangan-nya. "Eh... ayo." Selesai berpamitan, Bimo langsung membawa Anita meluncur di boncengan motor-nya.

Whuuuum...

Sepanjang jalan Bimo sempat berfikir. "Kenapa aku kudu mutusin Anita ya? Kan kejadian kemarin itu kan kemauan Arimbi. Kan bukan aku yang mau. Goblog aja aku klo mau di suruh mutusin Anita. Sorry ye... Sayang sayang keles ignore cewek secantik ini."

Walau belum sepenuh-nya yakin, Bimo akhirnya mengambil keputusan, tidak! Terlalu sayang memutus cewek secantik Anita. Atau paling tidak, terlalu sayang sebelum mencicipi sesuatu yang tersembunyi di balik putih polkadot. Kyaaaaa....

"Kok aku jadi tambah mesum kek gini ya? Aaaah... Ini pasti gegara ajaran Arimbi ini. Pasti!"

Sesampainya di sekolahan Anita, Bimo menghentikan motor-nya di samping pos satpam seperti biasanya. Dan seperti biasa juga, mereka langsung menjadi santapan iri seisi sekolahan Anita. "Eh... Entar pulang sekolah kita belajar bareng ya?" Kata Bimo setelah Anita turun dari motornya.

"Tumben..." Sahut Anita heran sambil sedikit merapikan anak rambut-nya.

"Dih... Males di omelin, semangat di kata tumben. Terus aku harus gimana dong...?"

Anita sekilas tersenyum sambil mengangguk pelan. "Iya iyaaa... Udah ah, jalan sono gih. Ntar telat kamu."

"Iya..." Bimo kemudian langsung meluncur pergi. Tapi sepanjang jalan Bimo kembali berfikir. "Terus Arimbi gimana? Pasti dia nggak terima. Terus pasti dia... Aaaah!" Bimo langsung kembali puzeng pala babi. Arimbi jelas tidak bisa di acuhkan begitu saja. Arimbi itu bahaya dan kadang suka nekat. Tapi Anita...

"Huaaaaaa..." Bimo berteriak sekeras keras-nya seperti orang gila.

Sumpah Bimo bingung maksimal kalau di paksa harus memilih seperti ini. Arimbi atau Anita? Bimo memang cinta Arimbi, cinta mati malah. Dan di tambah lagi dengan perawan Arimbi yang sudah The End di ujung si lucu Bimo. Tapi... Mau sampai mana juga mereka kan tidak akan pernah bisa. Arimbi itu seperti ilusi.

Sementara Anita? Entahlah... Anita mungkin hanya pelarian. Tapi paling tidak Anita itu nyata. Dia bukan ilusi dan halal buat Bimo, tidak seperti Arimbi. Tapi masalahnya ya lagi lagi Arimbi. Kalau Bimo lebih memilih Anita, ya tinggal siap siap saja menunggu aksi edian Arimbi selanjutnya.

Anita atau Arimbi... Gadis perawan atau gadis bukan perawan... That so dipikul cois, conpiused en komplikated!"

Kalau begini rasanya Bimo mending jadi organisme sejenis Amoeba saja. Dari pada jadi manusia tampan tenar dan berbahaya tapi pozeng pala babi. Paling tidak sebagai Amoeba dia tidak perlu berpusing pusing dengan masalah seperti ini. Dia hanya tinggal membelah diri dan, taraaaa... Masalah-pun selesai dengan mudah.

Arimbi dan Anita bisa sama sama memiliki, sama sama kebagian, sama sama puas tanpa perlu ada yang tersakiti. Dan yang jelas Bimo tidak harus pusing memilih. Tapi sayangnya Bimo bukan Amoeba.

Dan Bimo juga bukan CEO muda nan tampan kaya raya dingin posesif suka memaksa seperti tokoh di novel. Hidup Bimo tidak seberuntung itu. Yang bisa dengan mudah menyelesaikan masalah dengan uang kekuasaan dan koneksi.

Bimo juga bukan berurusan dengan cewek goblog yang mau maunya di paksa di bego begoin dan ujung ujung-nya jatuh cinta. Arimbi dan Anita bukan tipe cewek seperti itu.

Ok... Bimo memang tampan dengan tongkrongan motor super-sport keren. Orang tuanya juga bisa di bilang kaya walaupun tidak pakek raya. Tapi Bimo tetap bukan CEO muda. Bimo hanya bocah gemblung galau yang teraniaya.

Seperti itu...

~~~oOo~~~






Bersambung







22. Pantang Menyerah

Komentar