Sebut saja aku Mar, wanita berusia 18
tahun, sudah menikah dan sedang hamil 8
bulan. Aku berani menceritakan kisahku
setelah Sam (60), ayah kandungku
diamankan polisi lima bulan lalu, setelah
sempat digebuki Mas Hamdi (25), suamiku.
Sebagai wanita yang tumbuh ditengah
keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku
terbiasa hidup dan kerja keras membantu
orangtuaku yang nelayan. Kampung kami
di pulau L (Edited *) agak jauh dari
kota dan seperti terisolir membuat
tatanan kehidupan bermasyarakat
disana kurang terbuka, aku pun tumbuh
menjadi gadis kurang pergaulan.
Sejak berusia 11 tahun, ayah dan ibuku
bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki
idamannya membawa Fery, adikku.
Mereka pun tinggal di kota, dirumah
barunya. Sejak itu pula aku hidup
bersama ayahku dirumah kami dikampung
pesisir itu, karena Anto dan Santi, kedua
kakakku sudah merantau kepulau
seberang.
Kehidupanku bersama ayah berjalan
wajar. Untuk makan sehari-hari, ayah
masih sanggup mencari nafkah sebagai
nelayan, sedangkan aku turut membantu
bibi berjualan dipasar. Hingga aku
menginjak usia 17 tahun, dan tumbuh
menjadi gadis yang kata masyarakat
kampungku aku lumayan cantik. Diusia
itu aku disunting Mas Hamdi, anak lelaki
bibiku.
“Kamu sudah dewasa nak, setelah
menikah nanti jadilah istri yang taat
kepada suami. Ayah harap kamu tidak
seperti ibumu yang tergiur harta
kekayaan lelaki lain sehingga kamu
menderita,” kata ayah setelah
menerima pinangan bibi, orang tua
Hamdi.
Pesta penikahan yang cukup mewah
untuk ukuran kami tak membuat aku
bergembira karena pikiranku tertuju iba
pada ayahku yang nantinya akan
sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku
pun sangat mencintai Mas Hamdi,
suamiku.
Dimalam pertama kami, aku benar-benar
bahagia bersama Mas Hamdi. Malam itulah
kuserahkan semua yang kumiliki padanya,
sangat berkesan bagiku.
“Aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi
mengecup keningku saat kami
dipembaringan, usai pesta kawin kami
malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan
kami pun berpelukan erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus
turun ke pipi, hidung, dan selanjutnya
Mas Hamdi mengecup bibirku dan
mengulumnya dalam. Tangannya mulai
melucuti kebaya putih yang kukenakan,
menyibak bra yang kupakai, lalu
menyentuh puting susuku, meremas dan
mencubit kecil susuku.
“Aouhh Mass, geli Mas,” terus terang
baru sekali itu aku dijamah lelaki,
perasaanku bukan main takut bercampur
enak.
Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa
lapar ia kemudian melucuti seluruh kain
yang melilit tubuh bawahku dan juga
melepaskan seluruh pakaiannya.
“Tenang ya sayang, sakit sedikit kok..
nanti juga enak,” kata itu keluar dari
bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku
agak menjerit saat benda tumpul milik
Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Malam pertama itu Mas Hamdi
menyetubuhiku dengan beringas, dan tak
memberiku kesempatan untuk mencapai
klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir
mungkin itulah gaya seks pria pesisir
yang terbiasa hidup keras sebagai
nelayan.
Meski aku bahagia hidup bersama
suamiku, namun rasa BHakti pada ayah
tak pernah kusingkirkan. Walau kami
hidup beda rumah, dengan jarak 200
meter. Tetapi seringkali kubawakan ayah
makanan dan minuman, biasanya tiga
hari sekali. Apalagi Mas Hamdi pun
menyuruhku untuk tetap memperhatikan
ayahku yang mulai tua, dan jarang
melaut lagi. Tapi selama itu segela
sesuatunya masih berjalan lancar.
Hingga suatu siang, empat bulan setelah
aku menikah, aku membawakan makanan
dan minuman kerumah ayah yang
letaknya agak terpisah dari rumah
lainnya dikampung kami. Saat itu aku
sudah hamil dua bulan.
“Ini yah, saya bawakan sayur dan ikan.
Ayah nggak usah masak lagi untuk nanti
malam tinggal dihangatkan saja,”
kataku setiba dirumah ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini
benar-benar anak berBHakti,” kata
ayah seraya menghampiri dan mengecup
keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang
seperti yang selama ini diperbuat padaku,
kubiarkan saja itu dan kemudian aku ke
dapur untuk memindahkan makanan dari
rantang yang kubawa kepiring didapur.
Ayah rupanya membuntutiku dan ikut
kedapur, lalu disaat tanganku sibuk
menyusun piring dimeja makan, ayah
memelukku dari belakang.
“Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya
ayah sambil memeluk dan memegangi
perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih
ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah
tetap memelukku, karena kupikir ayah
sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus
sering diusap dan dipijit pelan supaya
bayinya nggak turun,” ayah berkata itu
sambil mengusap perutku dengan posisi
tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara
aku tetap sibuk memindahkan makanan
untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin kamu nggak
sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja,
pulangnya capek mana sempat mijitin
saya. Bukannya saya sebagai istri yang
harus mijitin dia?” kujawab ayah dan
melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah
keruangan depan.
Siang itu, seperti biasanya sebelum
pulang aku sempatkan untuk ngobrol
bersama ayahku. Selain menanyakan
kebutuhan apa saja yang harus
kubawakan, aku juga kerab berkeluh
kesah tentang sikap mertuaku, ibu Mas
Hamdi yang sampai saat itu belum bisa
kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu
ayah justru membicarakan masalah
kehamilanku, masalah perawatan janin
diperutku, termasuk masalah harus rajin
diusap dan dipijat perutku.
“Nah.. suamimu kan nanti malam
melaut, kamu datang kemari saja supaya
ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah
sebelum aku pulang.
Aku pun mengiyakan saja, soalnya
biasanya Mas Hamdi pulangnya agak
siang setelah melaut. Lagipula, dirumah
mertua aku sering bingung mau
melakukan apa, maklum mertuaku belum
sreg benar kepadaku kelihatannya.
Malam itu setelah Mas Hamdi pamit
melaut, aku langsung kerumah ayah.
Tentu saja aku pamit ke mertua untuk
menengok ayah, kataku pada mereka,
ayah sedang sakit. Waktu aku datang,
ayah sedang mendengarkan siaran radio
sambil menghisap rokok tembakau
lintingan diruang tamu.
“Malam yah.. kok ngelamun sih?”
sapaku sambil bergelayut dilengan
ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda
dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok
lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil
perjalanan hidupnya yang sebenarnya
sudah sering diceritakan pada kami,
anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak
nih mijitin saya? katanya sayang sama
cucu yang masih diperut ini?” aku
merajuk menghentikan ceracau ayahku
tentang hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi
dulu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar
ayahku. Saat itu seluruh pakaianku
kutanggalkan dan hanya menggunakan
kain sarung milik ayah untuk menutup
tubuhku. Biasanya dikampung ini, melilit
tubuh dengan sarung sudah jadi tradisi
tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya
sayang, ayah ambilkan minyak kepala
dulu,” ayahku memandangi tubuhku
dengan senyuman, lalu meninggalkanku
sendirian dikamar, aku pun menunggunya
sambil berbaring diranjang. Tak lama
kemudian ayah datang membawa sebotol
kecil minyak kelapa.
“Memang susah anak muda sekarang,
nggak perhatian sama istrinya,”
ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi
ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah
yang perhatian ya yah,” kataku.
Tangan ayah segera menyibak kain yang
kukenakan dibagian atas, sehingga
susuku tanpa pembungkus bebas
terlihat. Tetapi aku sama sekali tak risih
karena sejak kecil sampai gadis pun aku
sering dilihat mandi telanjang oleh ayah.
Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi
perutku dengan minyak kelapa, sesekali
tangannya memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun,
kamu sering merasa sakit ya?” ayah
bertanya sambil tangannya terus
memijiti perutku.
“He-eh yah.., sering capek juga
kakinya,” jawabku menikmati pijitan
ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh
badanmu ya,” ayah mengatakan itu,
lalu pijitannya pindah kebetisku,
pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap
ngobrol, mulai masalah harga ikan yang
sedang turun, sampai masalah masa lalu
ayah dengan ibuku.
“Uhh.. sakit yah,” aku agak berteriak
saat merasakan sakit dibagian perut
saat tangan ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi
tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini bisa
bahaya, kalau dibiarkan nanti anakmu
bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah
dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar
nggak mau punya anak cacat,” aku
takut sekali waktu itu, takut
menanggung malu jika kelak melahirkan
anak yang tak normal.
Ayah tak langsung menjawab
pertanyaanku, ia kelihatan sedang
berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus
siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian
meninggalkanku sendirian dalam kamar.
Tak lama ayah datang lagi dan membawa
baskom plastik berisi air dan beberapa
kembang kenanga.
Ayah kemudian menjelaskan padaku
bahwa ia akan mengobati kehamilanku
dengan pengobatan tradisional.
“Tapi ayah harus masukan air kembang
ini kedalam rahimmu sayang, kamu bisa
tahan sakit sedikit kan?” ayah
mengatakan itu dengan sangat
meyakinkan.
Semula aku ragu, apalagi ayah bilang
kalau dia akan memasukan air kembang
itu dengan cara menyemburkannya
divaginaku. Tetapi keraguanku pupus
setelah ayah berkali-kali meyakinkanku.
Sampai sekarang pun aku tak tahu pasti
apa kata ayahku itu benar atau hanya
sekedar akal bulusnya saja. Tetapi yang
jelas, saat itu aku menurut saja ketika
ayah menyingkap sarung yang kukenakan
dibagian bawah dan meminta aku
mengangkangkan kaki dalam posisi
terlipat, seperti posisi wanita yang
hendak
bersenggama dengan lelaki. Ayah sendiri
naik keranjang dengan posisi bersimpuh
dihadapan kangkangan kakiku. Terus
terang aku malu dan kikuk menyadari
betapa vaginaku terpampang jelas tanpa
penghalang didepan mata ayahku.
“Kamu tenang saja ya sayang, tidak
lama kok,” katanya, lalu meneguk air
kembang dalam baskom dan menampung
dalam mulutnya yeng menggelembung.
Aku sangat penasaran apa yang akan
terjadi selanjutnya, apalagi saat kepala
ayah mulai merunduk melewati dua
pahaku, mendekati vaginaku yang tak
terbungkus CD. Beberapa detik kemudian
kurasakan dingin mejalar dipermukaan
kemaluanku, rupanya ayah sudah
menyemburkan air dalam mulutnya tepat
kevaginaku. Yang kurasakan selain
dinginnya air kembang, juga perasaan
geli dibagian vitalku. Ayah mengulangi
lagi meneguk air itu dan menyemburkan
ke vaginaku, beberapa kali. Hal itu
menimbulkan perasaan tak menentu
padaku, geli, dingin bercampur enak.
“Gimana Mar, sudah agak membaik rasa
sakitnya?” ayah bertanya padaku.
Namun belum sempat kujawab tangan
kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air
kembang itu masuk sampai kerahimmu,”
katanya, sambil tangannya terus
mengusapi bibir vaginaku.
Usapan tangan ayah divaginaku yang
sudah basah terkena air kembang
membuat sensasi tersendiri kurasakan,
aku pun tak bisa berkata-kata lagi
karena mendadak lemas seluruh sendi
tubuhku.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mar nggak bisa
tahan geliinya,” bibirku meminta ayah
menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua
tanganku tak menahan tangan ayah
yang aktif, tetapi tanganku justru
meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah
bertanya sambil jempol kanannya
menekan klitorisku dan menguyak-
nguyak benda sensitifku itu memutar
kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali
disituhh,” nafasku mulai tersengal
menahan geli yang nikmat dibawah
usapan jempol ayah dibagian klitorisku.
asa gatal yang sangat kurasakan
dipucuk-pucuk kedua susuku yang
putingnya sudah mengembang pertanda
birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya
mengusapi klitorisku dengan jempolnya,
usapan itu perlahan melemah dengan
posisi jempol beranjak menjauh dari
klitorisku. Saat itu aku sudah sangat
terangsang oleh ayah, pinggulku kini
yang naik mengejar jempol ayah agar tak
meninggalkan klitorisku. Aku
menggelepar dengan napas sudah sangat
tidak beraturan lagi, pikiranku sudah
melayang dan tak ingat lagi bahwa yang
merangsangku adalah ayahku sendiri.
Tapi disaat aku sudah sangat
terangsang seperti itu, ayah justru
menghentikan aktifitasnya di klitorisku.
Pinggulku yang tadinya sedikit
mengangkat mencari jempol ayah
langsung terjerembab lagi, aku terpejam
menahan gejolak yang berkecamuk
ditubuhku.
“Auhh yahh, kenapa?” tanyaku agak
kecewa, tapi mendadak malu saat ayah
menatapku, malu karena aku seperti
meminta hal yang lebih dari ayahku.
“Mar.. sepertinya air kembang itu tidak
masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi
semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mar.. nggak
tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya
tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin
menjauhi ayah.
Ayah tak menjawab permintaanku dan
kembali meneguk air kembang lalu
ditampung dimulutnya. Aku memejamkan
mata saat kepala ayah kembali tunduk
mendekat ke pangkal pahaku. Aku kembali
merasakan dingin di permukaan vaginaku
saat ayah mulai menyemburkan air
kembang, tapi kali ini lain, setelah
semburan itu aku merasa ada benda
kenyal nan lembut menyapu permukaan
vaginaku. Kupikir itu jemari tangan
ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan,
benda bertekstur lembut, hangat, dan
kenyal itu adalah lidah ayah. Ya, ayah
mengusapi tepatnya menjilati permukaan
vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh.. mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,”
aku tak kuasa menahan rasa nikmat
dijilati ayah, terus terang sejak kawin
dengan Mas Hamdi belum pernah aku
diperlakukan seperti itu. Mas Hamdi
selalu main langsung tembak, tanpa
rangsangan lebih dulu sehingga selama
ini aku sendiri belum pernah merasakan
apa yang disebut kenikmatan orgasme.
Jilatan ayah mulai meningkat, kini
lidahnya justru sering menelusup belahan
bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan
bening kental dari vaginaku diseruput
ayah seperti menyeruput kopi hangat
dari gelasnya.
“Ngghhsstt.. yah.. Mar nggak bisa
tahnn.. ouhh..” aku mulai
menggelinjang tak menentu rasanya.
Namun disaat aku mulai melambung
tinggi, ayah menghentikan lagi
aktifitasnya di vaginaku, membuat aku
menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mar.. ayah agak sulit masukan air
kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar
lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi,
geli sekali yah,” aku merasa semakin
lemas karena birahiku dipermainkan
seperti itu.
Saat itu aku berhayal seandainya Mas
Hamdi ada tentu dialah yang akan
memuaskanku dengan penisnya, karena
aku merasa sudah siap betul dan ingin
sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi pikiran
itu kutepis, karena bukankah ayah yang
sedang mengobati kandunganku? Aku tak
berpikir bahwa ayah pun terangsang
saat itu.
Tapi tak lama kemudian kurasakan nafas
ayah kembali mendekati vaginaku, setelah
meneguk air kembang yang hampir habis
di baskom. Ayah tidak lagi menyemburkan
air itu dengan berjarak dari vaginaku,
tetapi bibir ayah langsung menempel
dibibir vaginaku dan ia menyemburkan air
itu. Kurasakan aliran air itu masuk
hingga ke dinding rahimku, rasanya sama
seperti saat Mas Hamdi menumpahkan
spermanya ketika kami bersenggama.
Setelah itu bibir ayah melumati bibir
vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan
vaginaku membuat nikmat yang sangat
dibagian sensitif itu, aku benar-benar
kepayang dibuat ayah. Kini jemari
tangan ayah turut menyibaki vaginaku,
membukanya lebar dan lidahnya menyapu
klitorisku dari atas kebawah dan
sebaliknya dari bawah keatas.
“Ouhh.. yah.. suddhh yaahh, Mar mau
kencingg rasanya ah..” seluruh sendiku
terasa ngilu dan mengembang bersama
kedutan kecil didinding vaginaku, aku
hampir sampai puncak orgasmeku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-
lagi ayah menghentikan aktifitasnya,
tapi saat kubuka mata ternyata kali ini
tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku
dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh..
ahh,” belum habis kagetku karena ayah
menindih, aku merasakan ada benda
keras yang masuk ke vaginaku.
Ternyata ayah sudah melepaskan
celananya dan penisnya yang tegang
dimasukan ke vaginaku. Aku hendak
berontak karena hal itu tabu
dikampungku dan dimanapun, bukankah
seorang ayah tak boleh melakukan itu
pada anak perempuannya. Perang bathin
kualami saat itu, aku ingin mendorong
tubuh kekar ayahku tetapi aku sudah
sangat lemas saat itu. Sementara
dorongan birahiku ingin segera
terpuaskan dengan senggama bersama
lelaki.
“Oohhgg, Mar.. angap saja ayah Hamdi
Mar.. ouhh ayahh nggak tahhann,” ayah
tetap menindihku dan kini pinggulnya
mulai naik turun diatas tubuhku
membuat penisnya bebas keluar masuk
diliang nikmatku yang sudah licin dan
becek oleh cairanku sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak
kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai
mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut
menyambut goyangan ayah dengan
goyangan pinggulku. Merasa aku tak
melawan, ayah pun semakin liar
menyetubuhiku, anak kandungnya. Kini
sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar
menghisapi puting susuku, sehingga
senggama kami sempurna dan
kenikmatan yang kurasakan pun semakin
tak tertara bila dibanding senggamaku
bersama suami.
Sekalipun usia ayah sudah kepala enam,
tetapi kondisi fisiknya masih kuat dan
kurasakan penisnya pun masih normal
dengan ukuran yang sedikit lebih besar
dari punya Mas Hamdi.
“Yahh.. Marr mauu kencinghh yahh
uuh..sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama,
kurasakan kenikmatan mulai mengumpul
di pangkal pahaku, bongkahan pantatku,
ujung-ujung jari kakiku, dan juga di
liang nikmatku. Kedutan semakin terasa
didinding vaginaku, dan akhirnya
kurasakan kejang dibagian pinggul
sampai kakiku, kakiku kemudian
kugunakan untuk menjepit pinggul ayah
dan menekannya agar lebih dalam
penisnya bersarang di vaginaku.
Tanganku memeluk tubuh berkeringat
ayah, sementara kepalaku terangkat
dengan bibir menyedok kulit dada ayah.
Dalam kondisiku yang puncak itu, ayah
masih menggejot penisnya beberapa kali
sebelum akhirnya
ayaHPun mengejang dan mengerang
diatas tubuhku.
“Ahhgg Mar.. ngghh,” ayah lalu lunglai
dan berbaring disampingku yang juga
lemas tak bertenaga. Tulangku seakan
dicopoti saat itu, namun kuakui itulah
kali pertama aku kepuncak nikmatnya
senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku
dirumahnya, dan paginya kami seperti
melupakan kejadian itu. Akupun pulang
kerumah mertua pagi harinya, dan
bersikap seperti biasa saat Mas Hamdi
pulang melaut.
***
Kejadian pertama bersama ayah,
membuat aku agak malu untuk datang
kerumah ayah lagi. Sudah dua minggu ini
aku tidak menjenguk atau
mengantarkan makanan untuk ayah.
Entahlah, walau sebenarnya aku tak
keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah,
tetapi aku malu kalau disangka ayah
ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut
seperti biasa ia meminta jatah dilayani
kebutuhan biologisnya. Sebagai istri
kulayani suamiku semaksimal mungkin.
Tapi seperti biasa juga, Mas Hamdi hanya
memikirkan kepuasannya saja, dan sudah
mengejang menyemprotkan air maninya
sebelum aku merasa terangsang, apalagi
orgasme.
“Mhh, aku sayang kamu Mar..” Mas
Hamdi selalu mengatakan itu sambil
mengecup keningku setiap kali usai
menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia
mengenakan kembali pakaiannya dan
meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun
melaut bersama teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang
kuucapkan melepas pergi suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa
mengenakan kembali pakaianku, rasa
kecewa terhadap suamiku tumpah lewat
air bening yang meluncur ditepian
mataku. Aku merasa tersiksa dua minggu
ini setiap kali berhubungan intim dengan
suamiku, tersiksa karena tak
mendapatkan nikmat yang maksimal
seperti yang kudapat dari ayahku.
Setelah suamiku menhilang dibalik pintu,
aku bangkit dan mengunci kembali pintu
kamar. Kembali berbaring diranjang
tanpa busana, aku menghayalkan
kenangan nikmat bersama ayah. Tak
terasa tanganku mulai meremasi
payudara sendiri, sambil membayangkan
ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku
pun menjelajahi bagian tubuh sensitifku
sendiri. Malam itu aku mencapai
orgasmeku dengan masturbasi sambil
menghayalkan ayahku, lalu tertidur
pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas
Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan
makanan untuk kubawa kerumah ayah.
Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah
pagi itu.
“Eh kamu Mar.. ayah kira siapa,” kata
ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,”
aku menjawab tanpa mampu menatap
mata ayah, aku malu dan jadi canggung
pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan
seperti biasanya aku langsung kedapur
untuk memindahkan makanan dirantang
yang kubawa kepiring di dapur rumah
ayahku.
“Gimana sayang, sudah nggak sakit lagi
perutmu?” suara ayah menyapaku, dan
aku agak terkejut ketika ayah tiba-tiba
sudah mendekap tubuhku dari belakang
sambil tangannya mengusapi perutku
yang nampak sedikit membuncit dengan
usia kehamilan 3 bulan.
“Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-
kadang masih tuh yah, tapi agak membaik
kok setelah dipijit ayah waktu itu,” aku
bingung harus menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar
nggak sakit-sakitan perutmu itu,”
nafas ayah tepat menghembusi
tengkukku, membuat aku menahan geli
dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah
kurasakan membelai bongkahan pantatku
dan mulai menyingkap naik bagian bawah
daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh ayah.. jangan lagi ah,” aku
berusaha menepis tangan ayah dan
kembali meneruskan kegiatanku
merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi
tangan ayah seperti tak mau pergi, dari
belakang itu ayah malah memasukan
tangannya kebalik dasterku dan
mengusapi bongkahan pantatku, sesekali
meremasinya.
“Ya sudah, kalau nggak mau dipijitin
dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Kamu
kan bisa sambil rapikan piring itu,” ayah
semakin berani menyusupkan tangannya
kebalik CD ku, sehingga kini tangan
kasarnya mengusapi pantatku tanpa
penghalang. Saat tangan ayah langusng
menyentuh kulit pantatku secara
langsung, aku merasakan desiran aneh
yang kemudian memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap
merapikan makanan diatas meja dapur,
tetapi aku tak lagi menepis aktifitas
ayah, aku membiarkan ayah berbuat
semaunya.
“Asshtt yah.. janganhh geli yah,” aku
menggelinjang saat bibir ayah mengecup
tengkukku, tapi aku tak mampu
menghindarinya.
“Kamu merunduk diatas meja ya
sayang, tenang saja.. supaya perutmu
cepat sembuh, ayah pijitin sambil berdiri
ya,” ayah menekan bahuku dari
belakang sehingga posisi tubuhku
merunduk dengan kedua tangan
menopang dibibir meja.
Penasaran juga apa yang akan ayah
lakukan, aku pun tak bisa menjawab
selain mengikuti perintah ayah itu. Kini
pekerjaan merapikan piring sudah tidak
ada lagi, yang ada aku merunduk pasrah
di meja itu, menunggu apa yang akan
ayah lakukan selanjutnya.
Desiran yang kurasa semakin menjadi
saat ayah melorotkan CD yang kupakai
lalu menyingkap naik bagian bawah
dasterku. Posisiku jadi nungging
membelakangi ayah dengan tubuh bagian
bawah bugil. Ayah lalu memandu kedua
kakiku untuk lebih merenggang jarak,
lalu ia pun berlutut dibagian itu.
“Bagus sekali kemaluanmu ini Mar..”
ayah memujiku.
“Ayah, saya mau diapakan lagi sih?”
Aku penasaran apa yang akan diperbuat
ayah terhadapku. Tapi lagi-lagi ayah
bilang kalau itu termasuk pengobatan
tradisional yang akan mempermudah aku
melahirkan kelak. Sambil menjelaskan itu
padaku, tangan ayah mulai menjelajahi
belahan pantatku
dan kadang menyusup sampai kebibir
kemaluanku.
“Hsstt ahh,” aku tak bisa menahan
desah yang keluar akibat napasku mulai
tersengal menahan dampak aksi ayah.
Perasaan geli menjalari vitalku dan
membuat tenaga dikedua kakiku seperti
melemah, posisiku jadi lebih merunduk
dengan tangan terlipat dimeja dan
susuku terhimpit antara badan dan
meja. Aku melangkah mundur sedikit
menjaga agar perutku tak tertindis
tubuh dan terhimpit meja. Posisi itu
rupanya membuat ayah semakin mudah
menggapai vaginaku dari belakang
karena tinggi meja yang hanya satu
meter membuat aku nungging maksimal
membelakangi ayah yang berlutut.
“Tahan sebentar ya sayang.. cuma
sebentar kok,”
Ayah tak lagi mengusapi bongkahan
pantatku, kini kedua tangannya
menahan bongkahan pantatku dan
menguaknya agar bibir vaginaku
terlihat. Ditengah penasaranku, tiba-
tiba kurasakan lidah ayah sudah menyapu
bibir vaginaku. Ritme jilatan ayah di
vaginaku sungguh teratur, setiap lima
kali menjilat naik turun ayah selalu
menghentikannya dibagian klitoris untuk
menekan klitorisku dengan lidahnya itu.
Kendali benar-benar dipegang oleh ayah
saat itu. Aku sudah tidak mampu lagi
bergerak, apalagi menolak perlakuan
ayah padaku. Cairan kental kurasa sudah
mulai keluar dari vitalku membuat ayah
semakin leluasa menjilat, mengecup, dan
mengulum bibir vaginaku. Dendam nikmat
yang tak kuraih dari Mas Hamdi semalam,
ingin kutumpahkan disini, bersama
ayahku.
“Aduhh yahh.. gelhihh sekalhii ehhsshh,”
saat ritme jilatan ayah menekan
klitorisku, pantatku menyambut
bergerak kebelakanng membuat wajah
ayah tenggelam dibongkahannya, aku
ingin agar lidah itu menekan lebih keras
klitorisku. Tanganku menggapai apa saja
yang ada diatas meja, meremasi gelas
dan serbet disana demi menikmati sensasi
itu. Koyakan-koyakan lidah ayah
menembusi belahan bibir vaginaku,
sesekali ayah menyedot dan menelan
cairan kental yang keluar, lalu mengoyak
lagi dan lagi.
“Ehm.. kemaluanmu sudah mulai
berkedut Mar, apa sakit diperutmu sudah
mulai hilang?” ayah menghentikan
jilatannya dan bangkit mendekap
tubuhku yang tetap nungging.
“Mhh aahh, belum yahh.. masih sakit
perut Mar,” aku menjawab begitu agar
ayah meneruskan lagi jilatannya dan
membuai lagi birahiku.
“Belum? Kalau begitu ayah teruskan ya
pijitannya, kalau begini enak tidak
sayang?” ayah berdiri dibelakangku,
kedua tangannya mencengkeram
pinggulku. Belum lagi aku menjawab
pertanyaan ayah, kurasakan benda
hangat dan tegang ingin menembus
vaginaku.
“Ohh yaahh..,” penis ayah yang sudah
berada digerbang liang nikmatku
langsung amblas separuh di vaginaku
saat aku mundurkan pantatku.
Tapi ayah seperti ingin menyiksa birahiku,
ia tetap berdiri mematung sekalipun
penisnya sudah masuk separuh ke liang
nikmatku. Kini akulah yang aktif
memburu batang perkasa ayah,
pinggulku memutar dan mundur-mundur
menahan gatal yang ingin agar penis itu
masuk utuh divaginaku. Beberapa menit
seperti itu, ayah pun tak bisa lagi
menahan birahinya, dan siap
menggenjotku. Tetapi baru saja ayah
terasa akan menekan pinggulnya
kedepan, mendadak terdengar ketukan
pintu rumah. Ayah beranjak menjauhiku
dan menaikan celananya lagi.
“Ada orang Mar.. kamu perbaiki bajumu
ya, ayah lihat siapa yang datang,” ayah
meninggalkanku didapur.
Agak kesal memang saat itu karena aku
sudah terlanjur birahi dan ingin sekali
terpuaskan. Tapi kesal itu luntur saat
terdengar suara Henny, adik bungsu Mas
Hamdi.
“Mbak Mar ada Pak Sam.., saya disuruh
panggil, Mas Hamdi sudah pulang,”
begitu suara Henny terdengar.
“Oh.. ada nak, Mbak Mar ada disini baru
ngatur makanan untuk saya. Mar,
Mar..” ayah memanggilku.
“Eh Henny, Mas Hamdi pulang ya.., yuk
kita pulang. Yah Mar pulang dulu ya,”
aku berpamitan dan mengajak Henny
pulang kerumah mertuaku, hari sudah
beranjak siang saat itu.
Sampai dirumah Mas Hamdi memintaku
membuatkan kopi untuknya, lalu dia
banyak bercerita tentang hasil
melautnya semalam.
“Cakalang sedang banyak Mar, mungkin
setelah makan siang nanti saya bersama
kawan-kawan kembali ke laut, mumpung
rejeki nih,” katanya.
“Iya Mas, tapi hati-hati ya,” jawabku.
Setelah minum kopi, Mas Hamdi menarikku
kekamar, dan minta aku melayani nafsu
seksnya. Untung baru beberapa saat aku
dirangsang ayah sehingga aku sangat
senang melayani Mas Hamdi. Tapi seperti
biasa, Mas Hamdi main tubruk saja.
Menindih tubuhku masih lengkap dengan
baju, Mas Hamdi hanya membuka
resleting celananya. Dasterku hanya
disingkap keatas dan CD dipelorot
kebawah lalu ia menggenjotku.
“Ohh mass, enaakhh mass,” walaupun
Mas Hamdi tak merangsangku namun
dengan membayangkan buaian ayah tadi,
aku bisa terangsang dan benar-benar
ingin dipuaskan. penis Mas Hamdi
menembusi vaginaku dengan cepat.
“Iyahh sayangghh enaakhh sekalii..
pepekmu ougghh,” Mas Hamdi melenguh,
padahal baru beberapa menit penisnya
masuk di pepekku.
“Ouhh.. Sstthh.. janghaann duluu mass,
ahh,” ingin kuhentikan saat merasakan
penis Mas Hamdi berkedut menyemburkan
sperma kerahimku. Oh, lagi-lagi dia hanya
memikirkan kepuasan sendiri, tanpa
mengerti perasaanku yang juga ingin
merasakan nikmatnya disetubuhi suami.
“Uhh, nikmat sekali sayang, makasih
ya,” katanya, mengecupku, lalu pergi.
Aku ingin sekali marah, berteriak, dan
maki-maki, tetapi semua hanya bisa
tumpah lewat tangisan siang itu.
Sore hari setelah Mas Hamdi melaut, aku
berpamitan kepada mertuaku untuk
menjenguk ayah. Lagi-lagi alasanku ayah
sedang sakit. Begitulah, sore itu aku
kembali berada dirumah ayah, dan tak
ingin membuang waktu aku langsung
memluk tubuh ayah begitu masuk
rumahnya.
“Oh.. ayahh, Mas Hamdi jahat yah..,”
aku menangis dipelukan ayah diruang
tamu.
“Kamu kenapa Mar..? kenapa kamu..?”
ayah nampak khawatir melihat aku
menangis.
“Dia menyetubuhiku tapi perutku
tambah sakit yah, ini yah disini sakit,”
aku menuntun tangan ayah keperutku
yang mulai membuncit.
“Disini ya, sayang. Sudah, kamu diam ya
nanti ayah obati.., nah disinikan yang
sakit? disini juga ya..?” ayah seperti
mengerti apa yang kuinginkan dalam
posisi berpelukan sambil berdiri, tangan
ayah mulai merayapi dari perut sampai
selakanganku, membuat gairahku
bangkit seketika.
“Ayo sayang, ayah obatin dikamar..,
ups..”
Ayah membopong tubuhku dan
membaringkanku diranjang kamarnya.
Setelah itu, bagai serigala lapar, ayah
melucuti pakaianku dan pakaiannya juga.
Ayah langsung menerkam
selangkanganku yang membasah dan
menjilati lagi vaginaku.
“Ohh iyaahh yaah.. begitu yahh.. aahh,”
aku tak lagi bisa mengendalikan
ocehanku, nikmat sekali perlakuan ayah
itu.
Mendengar celotehku tangan ayah naik
merambati susuku, meremas, dan
mencubiti putingnya. Sepuluh menit
mempermainkan vagina dan susuku, ayah
rupanya tak tahan juga. Apalagi pagi
tadi pasti ayah pun sangat menyesal
nafsunya tak tuntas.
“Uh Mar.., angkat kakimu ya.. begini
sayang,” ayah membimbing kakiku
menopang dipundaknya.
Dengan posisi itu ayah menepatkan
penisnya dibelahan bibir vaginaku.
“Yahh.., obatin Marr yah.. cepet yahh,”
aku sudah merasa gatal sekali ingin
segera menerima sodokan penis kekar
ayahku.
“Mar.., kalau lagi hamil muda memang
wanita butuh beginian, kalau suamimu
susah, kamu sering kemari ya, biar ayah
obatin.
Lagipula, wanita hamil paling enak
memeknya.. kayak kamu ini,” ayah
sengaja lagi mempermainkan birahiku,
aku diajaknya ngobrol sementara kepala
penisnya yang bulat dibiarkan membenam
di pintu vaginaku tanpa memasukan
batangnya.
“Gimana Mar? Kamu jawab donk
sayang..?” tanyanya.
“Duhh ayahh.. masukinn dong yahh, Mar
nggak bisa nahan lagihh, ahh.. iyaa
uhh,” belum selesai aku memohon, ayah
menekan pinggulnya, membuat penisnya
masuk keliang nikmatku.
Bless.. cleepp..
Posisi yang dibimbing ayah ternyata
membuat syaraf divaginaku menerima
rangsangan yang maksimal. Dengan
posisi itu penis ayah menekan cukup
diklitorisku setiap kali keluar masuk
menembus bibirnya. Penis ayah yang
sedikit lebih gemuk dari penis suamiku
serasa membuat bibir vaginaku ikut
monyong-monyong menerima
sodokannya. Tangan ayah meremasi
susuku dengan keras, dan tanganku
hanya bisa melampiaskan nikmatku
dengan meremasi bantal dikepalaku.
Kunikmati setiap gerakan ayah, aku juga
berusaha menggoyang ayah dari bawah
memutarkan pinggulku semampuku, aku
pun ingin ayah merasakan kenikmatan
yang sama seperti yang kudapat darinya.
Mungkin benar kata ayah, saat hamil
muda wanita sangat butuh seks dan
butuh terpuaskan. Rambutku yang
panjang sudah acak-acakan mengikuti
gerak kepalaku yang liar. Keringat ayah
dan keringatku bercampur membasahi
tubuh kami dan juga sprei ranjang.
“Ohh Marr.. bukan mainn Mar.. enakh
sekali pepekmu nak..,” ayah sudah
hampir jebol, gerakan menggenjotku
semakin cepat.
“Oyaahh..mmphh aahhsstt.. enaakk
juggaa konntollnyaahh.. aahhsstt,”
saat gerakan ayah lebih cepat,
rangsangan diklitorisku menjadi puncak.
Aku juga hampir jebol, meski berusaha
kutahan tapi kedutan kecil dinding
vaginaku semakin menjadi, sampai
akhirnya kupiting leher ayah dengan
betisku yang menggatung.
“Amphuunn yahh.. aahhsstt,.. enghh..
ahhsstt..enghmm.. yahh.. ohh,” aku
jebol, vaginaku berkedut menjepiti penis
ayah.
“Maarr.. ennaakk ohh.. ouhh.. ohh,
ennaakkh Marr ohh,” beberapa detik
kemudian ayah menyusul orgasmeku,
tubuhnya mengejang dan tangannya
semakin keras meremas susuku.
Ayah menurunkan kedua kakiku dari
pundaknya tanpa melepaskan penisnya
yang terjepit vaginaku, dan
mengarahkanku untuk berbaring miring
berhadapan dengannya yang terkulai
disampingku, kelamin kami tetap menyatu
saat itu. Sampai akhirnya penis ayah
mengecil dan melepaskan diri dari jepitan
vaginaku. Saat lelah kami terobati
dengan tidur beberapa jam, malam itu
aku pulang kerumah mertua, dan
melanjutkan tidur nyenyak dengan
perasaan nyaman sekali.
Seperti kejadian pertama, meskipun aku
terpuaskan bukan main tapi kejadian
kedua bersama ayah menyisakan sesal
dibathinku. Apalagi setiap kali aku
mendengar ceramah rohani, aku merasa
dosa terhadap Mas Hamdi suamiku. Selain
itu aku juga merasa dosa melakukan
hubungan intim dengan ayah kandungku,
bukankah kami sedarah dan tabu untuk
melakukan itu?
Tapi entahlah, dibalik rasa sesal itu, ada
rasa ingin mengulangi yang juga sama
besarnya. Dua perasaan itu berkecamuk
dibathinku seminggu ini, selama itu aku
ingin sekali ke rumah ayah tetapi batal
karena rasa sesal tadi. Pagi itu aku
merasa perang bathin lagi, tapi
nampaknya rasa sesalku kalah kali ini
dengan rasa ingin mengulangi nikmat
bersama ayahku. Apalagi semalam aku
kembali kecewa dibuat Mas Hamdi.
Walaupun semalam Mas Hamdi sampai
tiga kali menindih tubuhku dengan nafsu,
tetapi ia selalu selesai sebelum aku
puncak.
Setelah menyelesaikan pekerjaan
rumahku, aku mengemasi makanan untuk
kubawa kerumah ayah yang sudah
seminggu ini tak kukunjungi. Kupikir aku
bisa menghabiskan waktu disana karena
Mas Hamdi baru subuh tadi berangkat
dan tentu pulang malam. Maklum arah
angin berubah sehingga hari itu Mas
Hamdi melaut pagi.
Waktu aku sampai dirumah ayahku,
rupanya pintu tak terkunci sehingga aku
bisa langsung masuk. Kulihat ayah
tertidur di kursi bambu ruang tamu,
hanya pakai sarung dan telanjang dada.
Kubiarkan ayah tidur sementara aku
kedapur memindahkan lauk dari rantang
ke piring yang ada dimeja dapur. Setelah
itu aku kembali keruang tamu dan
memperhatikan ayahku yang tertidur
dikursi panjang dari bambu. Dibanding
Mas Hamdi, ayah memang bertubuh lebih
bagus walau sudah cukup tua. Dada
bidangnya masih menonjolkan otot
semasa muda dulu membuat tubuh yang
tingginya mencapai 178 cm masih terlihat
kokoh jika berdiri.
Mataku menjelajahi tubuh ayah yang
terlentang, dari kaki sampai wajah.
Wajah ayah juga masih menawan untuk
lelaki seusianya, mirip-mirip aktor gaek
Pit Pagauw yang mancung dan ganteng
itu. Kuyakin, sebenarnya banyak wanita
yang tergila-gila pada ayah, hanya saja
ayah benar-benar sudah trauma dengan
kegagalan perkawinannya dengan ibuku.
Huh.. seandainya aku lahir di zaman ayah
dan bukan anak ayah, ingin rasanya aku
kukawini ayah dan menjadi istrinya.
Tentusaja kenikmatan dapat kuraih
setiap saat darinya, tapi mungkin bukan
itu ukuran kebahagiaan tiap wanita,
buktinya ibuku memilih meninggalkan
ayah dan kawin lagi dengan pria yang
lebih kaya.
“Ngghh..” ayah menggeliat tetapi
tetap tidur, kaki kanannya yang
terangkat membuat sarung yang
dikenakan singkap hingga pangkal paha
ayah terlihat jelas.
Oh.. Kekarnya penis ayah langsung
membayang dibenakku, apalagi saat itu
ujung penis tidurnya terlihat. Ayah tak
menggunakan CD rupanya, sehingga
penisnya menggelayut keluar dari kain
sarung ketika kaki kanannya terangkat
dan sarung itu tersingkap. Penis ayah
yang tidur saja sudah hampir sama besar
dengan milik suamiku, dadaku langsung
berdesir saat itu, birahiku merambat
naik.
Entah setan apa yang menguasaiku saat
itu, aku mendekat dan bersimpuh dilantai
menghadap kursi tempat ayah tidur.
Posisi wajahku berada beberapa
centimeter dari penis ayah yang keluar
dari sarung. Dengan sangat lembut
kusentuh penis ayah yang masih tidur,
dan pelan-pelan kugenggam penis itu dan
kuusap-usap mengocok-kocok penis ayah.
Walau ayah hanya bergumam kecil dan
tetap tidur, tetapi reaksi penisnya
positif, batang nikmat itu perlahan
membesar dan menegang seirama dengan
kocokanku. Aku benar-benar blingsatan
sendiri menyadari penis ayah sudah on
dan siap aksi, entahlah hari itu sebelum
mendapat foreplay dari ayah, aku justru
sudah terbakar birahi.
“Ouhh.. Sayangg..” ayah mendadak
terbangun, tangannya meremasi
rambutku dan menuntun kepalaku
mendekat ke penisnya.
“Tolong hisap sayang, seperti ayah
menjilati vaginamu itu,” ayah
memerintahku, dan perintah itu
kulaksanakan tanpa keberatan, walau
sebenarnya baru kali itu aku menghisap
penis lelaki.
“Mmmphh ssthh mmpphh.. Ahh, enak
yah?, mmphh sshtt,” kulakukan
pekerjaanku dengan baik.
Tubuh ayah sampai menggelinjang
beberapa kali menahan kenikmatan
oralku. Saat mulutku mengulum
penisnya, ayah menggerakkan tangan
yang memegang rambutku maju-mundur
ke arah penisnya, membuat mulutku
secara otomasi maju mundur pula
menelan dan melumat penis ayah. Cairan
bening yang keluar dari penis ayah
kutelan dengan penuh nafsu. Sambil
mengulum penis, kuperhatikan sensasi
wajah ayah yang semakin tampan
meringis menahan buaianku itu. Ayah
mencengkeram rambutku lebih kuat dan
lebih cepat menggerakan tangannya
memaju mundurkan kepalaku.
“Hsstt ohh.. Nikmaattnyaa saayyhh..
Oghh.. Aahhgg.. Ayhh puass Marr.. Ohh,”
tubuh ayah kejang dan penisnya
menyemburkan sperma kental yang cukup
banyak, kutarik wajahku menjauh
sehingga puncratan sperma ayah
tercecer ke lantai.
“Ohh.. Sayang sini sayang, duduk diatas
sini ya,”
Setelah beberapa menit menarik nafas,
ayah menyuruhku duduk di kursi bambu
itu sementara ia beralih berlutut dilantai
dengan posisi menghadap perutku. Ayah
mengakat kedua kakiku dan
menopangnya kemeja di depan kursi,
tubuh ayah seolah kujepit diantara kedua
pahaku. Kini gantian ayah yang
mengoralku. CD yang kupakai tidak
dilepaskan ayah, tanganya mengamit CD
bagian bawah dan dibawanya kekanan
sehingga bibir vaginaku tersembul lewat
celah CD itu, lalu ayah merunduk dan
kurasakan sapuan nikmat di permukaan
vaginaku.
“Ohh yaahh.. hhsstt,” gantian juga,
kini aku yang meremasi rambut ayah dan
menekan kepala ayah agar lebih terbenam
menjilati vaginaku yang membasah.
Perlakuan ayah sungguh lelaki,
jilatannya membuat aku menggelinjang
kenikmatan semakin memuncakkan nafsu
birahiku.
“Enghh uhh.. Enak sekali yahh, disitu
yahh, oh ya disitu.. Isap yang kuat yah,”
desahanku semakin menjadi, sesak
dadaku menahan rasa ngilu nikmat
disekitar vagina dan merambat hiingga
boongkahan pantat dan jari-jari kakiku.
Aku berusaha bertahan cukup lama,
tetapi setelah lima belas menit
diperlakukan begitu akhirnya pertahanku
jebol.
“Duhh yahh.. Ohh Marr yahh.. Uhh,
hsstt.. Enghh enakk.. Ahhsst,” saat
vaginaku mulai berkedut, kutekan kepala
ayah agar lebih membenam di vaginaku,
cairan yang keluar dari liang nikmatku
disedot ayah, membuat sensasi
nikmatnya orgasme bagiku. Saat
kedutan itu selesai, aku langsung
terkulai dikursi bambu itu, dan ayah
bangkit duduk disampingku membelai
kepalaku.
“Enak Mar?,” ayah membelai pipiku dan
menatapku.
“Enghh ayah, iya enak sekali yahh..”
aku lalu menyandarkan kepala didada
ayah. Kami duduk dengan posisi begitu
hampir setengah jam, aku dan ayah
terlibat obrolan tentang kenangan indah
ayah bersama ibuku, dan juga tentang
aku dan suamiku. Kepada ayah
kuceritakan betapa irinya aku terhadap
hubungan ibu dengan ayah yang jauh
lebih indah dibanding dengan aku dan Mas
Hamdi, tak terasa aku pun menangis
dipelukan ayah.
“Kasihan kamu nak, pasti kamu
menderita tak terpenuhi nafkah
bathinmu selama ini,” ayah membelaiku
lagi penuh kasih. Setelah membelaiku,
ayah memegang tanganku dan
menuntunnya ke arah penisnya. Astaga,
penis ayah sudah tegak kembali dengan
perkasa.
“Mari Mar.. ayah tuntaskan kenikmatan
tadi untukmu,” ayah membimbingku lagi
untuk berdiri menghadap kursi dan
menopang tangan pada sandaran kursi
bambu itu.
Aku menurut tuntutan ayah, saat itu
aku pun ingin segera menerima penis
ayah, aku ingin disetubuhi ayah dari
belakang, doggy style. CD ku yang basah
dipelorotkan sampai lutut dan dasterku
disingkap sehingga bongkahan pantatku
terlihat jelas. Ayah memelukku dari
belakang, tangannya mengusapi perut
buncitku dan meremasi susuku. Ayah
juga mengecupi leher belakangku.
“Ouhh yaahh.. Marr nggak tahann
yah..” aku mulai tak sabar disenggamai
ayah, merasakan penis besarnya
merangsek vaginaku.
“Iyahh sayangg.. Nihh ayahh berii.. Ouhh
nikmatnyya pepekk inii,” ayah
menepatkan penisnya dibibir vaginaku
dan menekan pinggulnya kedepan,
gerakan itu membuat penisnya langsung
amblas diliang nikmatku yang sudah
banjir saat itu.
“Iya yahh begiituu yahh.. Enakk
sekalliihh ohh,” aku merintih menahan
nikmat dibagian vitalku.
Ayah mulai menggerakkan pantatnya
maju mundur, sehingga penis kekarnya
menerobos keluar masuk di vaginaku.
Senggama doggy style memang nikmat,
apalagi baru kali itu aku mengalaminya,
setelah beberapa siang lalu gagal
lantaran hampir kepergok Henny, adik
iparku. Ayah benar-benar memacu
birahiku, vaginaku mulai berkedut
menginjak menit ke dua puluh kami
bersenggama.
“Ahhsstt.. Hhngghh.. Duhh yaahh..
Enhaakkhh ouuhh, iyaa lebih kerass
yaahh.. Enaakkhh hngghh,” aku
kelabakan menerima sodokan ayah,
kedutan kecil divaginaku kutahan sebisa
mungkin, aku belum mau secepat itu
orgasme, aku ingin lebih lama merasakan
kenikmatan itu. Kugoyangkan pinggulku
berputar mengimbangi gerakan ayah,
otot perut kutegangkan sesekali agar
ayah merasakan jepitan vaginaku
dipenisnya.
“Ohh Marr.. Enakknyaa pepeekkmuu..
Ohh,” ayah pun mulai merasakan hal
yang sama, celotehnya semakin menjadi
sambil tangannya meremasi bongkahan
pantatku. Ayah menggenjotku lebih
keras, penisnya menumbuki vaginaku
sampai menimbulkan keciplakan
berpadunya kelamin kami.
Aku tak tahan lagi, otot-otot kakiku
mengejang seiring denyutan vagina yang
semakin sering muncul. Nafasku dan
nafas ayah berpacu melenguh, mendesis,
memndesah, dan berteriak kecil.
“Iya yahh.. Kuatin yahh.. Marr sampaii
yahh.. Ouhh.. Aahhsstt ighh.. Ammphuunn
aahh,” kurasakan seluruh ototku
mengejang, kenikmatan mengumpul dari
kaki, pantat hingga vaginaku yang
semakin keras berkedut, aku hampir
orgasme.
“OuuhHPp Marr.. Iinnii diaa.. Ohh.. Ohh
ayah hampir juga Mar.. Ohh,” ayah pun
mengerang, tangannya menjambaki
rambutku dan tubuhnya semakin cepat
menggenjot tubuhku.
“Ouhh.. Ammphunn yahh.. Amphunn..
Aahhsstt.. Ohh.. Ampphunn..” aku
sampai berteriak menerima orgasmeku,
aku jebol.
“Iya Marr.. Inii.. Ayahh juggaa..
Aahh,” ayah masih menggenjotku
berkali-kali saat aku sudah puncak.
Tetapi, “braak..” pintu rumah ayah
yang lupa kami kunci terbuka lebar.
Menyusul suara pintu itu, Mas Hamdi
masuk dan berdiri terpaku memandang ke
arah kami.
“Ouhh Maarr.. aaghhkk.. Ohh.. Iyaahh..
Ohhggh,” sangat tanggung saat itu,
meskipun kami tahu kehadiran Mas Hamdi
tetapi puncak nikmat yang datang tak
mungkin lagi terhindar, ayah meneruskan
memompaku sampai ia sendiri kejang dan
memeluk tubuhku dari belakang.
“Ohh ammphunn yaahh..” aku sangat
kenikmatan saat itu.
Mas Hamdi terpaku memandang kami,
tetapi setelah mendengar aku berkata
ampun, Mas Hamdi segera menuju ke arah
kami dan menarik tubuh ayah.
“Kurang ajar kau orangtua, anakmu
sendiri kau perkosa.. Huh”
Sebuah pukulan menyasar kewajah ayah
sampai ia terjerembab kelantai. Rupanya
Mas Hamdi berpikir kalau barusan tadi
aku diperkosa, ia lalu menghampiri ayah
yang jatuh dan menendang tubuh tua
ayah beberapa kali. Aku tak tahu mesti
bagaimana saat itu, selain mengenakan
kembali CD-ku dan membenahi pakaianku.
“Kamu nggak apa-apa sayang?,”
suamiku memelukku setelah ayah tak
berdaya.
“Enggak Mas.. Nggakk apa-apa,” aku
pun memeluknya, sungguh aku takut
sekali saat itu.
Takut ketahuan, dan takut ditinggalkan
suami. Beberapa menit kemudian suara
ribut hardikan Mas Hamdi kepada ayah
mengundang masyarakat datang. Ayah
kemudian diarak ke rumah Pak Rahmat,
Kadus dikampungku. Setelah sehari
diamankan di rumah Kadus, Mas Hamdi
melaporkan perbuatan ayah kepolisi dan
ayah diamankan di kantor polisi sekaligus
dijerat sebagai pemerkosa anak
kandung. Aku ingin sekali membela ayah,
tetapi aku tak mampu.
Kini, sudah lima bulan berlalu. Ayah sudah
melalui proses peradilan dan meringkuk di
LP sebagai terpidana tiga tahun penjara.
Kisah kami tetap kusimpan rapi, dan
sebulan sekali aku masih mengunjungi
ayah di LP walaupun kulakukan tanpa
setahu suamiku.
TAMAT
tahun, sudah menikah dan sedang hamil 8
bulan. Aku berani menceritakan kisahku
setelah Sam (60), ayah kandungku
diamankan polisi lima bulan lalu, setelah
sempat digebuki Mas Hamdi (25), suamiku.
Sebagai wanita yang tumbuh ditengah
keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku
terbiasa hidup dan kerja keras membantu
orangtuaku yang nelayan. Kampung kami
di pulau L (Edited *) agak jauh dari
kota dan seperti terisolir membuat
tatanan kehidupan bermasyarakat
disana kurang terbuka, aku pun tumbuh
menjadi gadis kurang pergaulan.
Sejak berusia 11 tahun, ayah dan ibuku
bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki
idamannya membawa Fery, adikku.
Mereka pun tinggal di kota, dirumah
barunya. Sejak itu pula aku hidup
bersama ayahku dirumah kami dikampung
pesisir itu, karena Anto dan Santi, kedua
kakakku sudah merantau kepulau
seberang.
Kehidupanku bersama ayah berjalan
wajar. Untuk makan sehari-hari, ayah
masih sanggup mencari nafkah sebagai
nelayan, sedangkan aku turut membantu
bibi berjualan dipasar. Hingga aku
menginjak usia 17 tahun, dan tumbuh
menjadi gadis yang kata masyarakat
kampungku aku lumayan cantik. Diusia
itu aku disunting Mas Hamdi, anak lelaki
bibiku.
“Kamu sudah dewasa nak, setelah
menikah nanti jadilah istri yang taat
kepada suami. Ayah harap kamu tidak
seperti ibumu yang tergiur harta
kekayaan lelaki lain sehingga kamu
menderita,” kata ayah setelah
menerima pinangan bibi, orang tua
Hamdi.
Pesta penikahan yang cukup mewah
untuk ukuran kami tak membuat aku
bergembira karena pikiranku tertuju iba
pada ayahku yang nantinya akan
sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku
pun sangat mencintai Mas Hamdi,
suamiku.
Dimalam pertama kami, aku benar-benar
bahagia bersama Mas Hamdi. Malam itulah
kuserahkan semua yang kumiliki padanya,
sangat berkesan bagiku.
“Aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi
mengecup keningku saat kami
dipembaringan, usai pesta kawin kami
malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan
kami pun berpelukan erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus
turun ke pipi, hidung, dan selanjutnya
Mas Hamdi mengecup bibirku dan
mengulumnya dalam. Tangannya mulai
melucuti kebaya putih yang kukenakan,
menyibak bra yang kupakai, lalu
menyentuh puting susuku, meremas dan
mencubit kecil susuku.
“Aouhh Mass, geli Mas,” terus terang
baru sekali itu aku dijamah lelaki,
perasaanku bukan main takut bercampur
enak.
Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa
lapar ia kemudian melucuti seluruh kain
yang melilit tubuh bawahku dan juga
melepaskan seluruh pakaiannya.
“Tenang ya sayang, sakit sedikit kok..
nanti juga enak,” kata itu keluar dari
bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku
agak menjerit saat benda tumpul milik
Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Malam pertama itu Mas Hamdi
menyetubuhiku dengan beringas, dan tak
memberiku kesempatan untuk mencapai
klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir
mungkin itulah gaya seks pria pesisir
yang terbiasa hidup keras sebagai
nelayan.
Meski aku bahagia hidup bersama
suamiku, namun rasa BHakti pada ayah
tak pernah kusingkirkan. Walau kami
hidup beda rumah, dengan jarak 200
meter. Tetapi seringkali kubawakan ayah
makanan dan minuman, biasanya tiga
hari sekali. Apalagi Mas Hamdi pun
menyuruhku untuk tetap memperhatikan
ayahku yang mulai tua, dan jarang
melaut lagi. Tapi selama itu segela
sesuatunya masih berjalan lancar.
Hingga suatu siang, empat bulan setelah
aku menikah, aku membawakan makanan
dan minuman kerumah ayah yang
letaknya agak terpisah dari rumah
lainnya dikampung kami. Saat itu aku
sudah hamil dua bulan.
“Ini yah, saya bawakan sayur dan ikan.
Ayah nggak usah masak lagi untuk nanti
malam tinggal dihangatkan saja,”
kataku setiba dirumah ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini
benar-benar anak berBHakti,” kata
ayah seraya menghampiri dan mengecup
keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang
seperti yang selama ini diperbuat padaku,
kubiarkan saja itu dan kemudian aku ke
dapur untuk memindahkan makanan dari
rantang yang kubawa kepiring didapur.
Ayah rupanya membuntutiku dan ikut
kedapur, lalu disaat tanganku sibuk
menyusun piring dimeja makan, ayah
memelukku dari belakang.
“Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya
ayah sambil memeluk dan memegangi
perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih
ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah
tetap memelukku, karena kupikir ayah
sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus
sering diusap dan dipijit pelan supaya
bayinya nggak turun,” ayah berkata itu
sambil mengusap perutku dengan posisi
tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara
aku tetap sibuk memindahkan makanan
untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin kamu nggak
sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja,
pulangnya capek mana sempat mijitin
saya. Bukannya saya sebagai istri yang
harus mijitin dia?” kujawab ayah dan
melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah
keruangan depan.
Siang itu, seperti biasanya sebelum
pulang aku sempatkan untuk ngobrol
bersama ayahku. Selain menanyakan
kebutuhan apa saja yang harus
kubawakan, aku juga kerab berkeluh
kesah tentang sikap mertuaku, ibu Mas
Hamdi yang sampai saat itu belum bisa
kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu
ayah justru membicarakan masalah
kehamilanku, masalah perawatan janin
diperutku, termasuk masalah harus rajin
diusap dan dipijat perutku.
“Nah.. suamimu kan nanti malam
melaut, kamu datang kemari saja supaya
ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah
sebelum aku pulang.
Aku pun mengiyakan saja, soalnya
biasanya Mas Hamdi pulangnya agak
siang setelah melaut. Lagipula, dirumah
mertua aku sering bingung mau
melakukan apa, maklum mertuaku belum
sreg benar kepadaku kelihatannya.
Malam itu setelah Mas Hamdi pamit
melaut, aku langsung kerumah ayah.
Tentu saja aku pamit ke mertua untuk
menengok ayah, kataku pada mereka,
ayah sedang sakit. Waktu aku datang,
ayah sedang mendengarkan siaran radio
sambil menghisap rokok tembakau
lintingan diruang tamu.
“Malam yah.. kok ngelamun sih?”
sapaku sambil bergelayut dilengan
ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda
dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok
lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil
perjalanan hidupnya yang sebenarnya
sudah sering diceritakan pada kami,
anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak
nih mijitin saya? katanya sayang sama
cucu yang masih diperut ini?” aku
merajuk menghentikan ceracau ayahku
tentang hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi
dulu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar
ayahku. Saat itu seluruh pakaianku
kutanggalkan dan hanya menggunakan
kain sarung milik ayah untuk menutup
tubuhku. Biasanya dikampung ini, melilit
tubuh dengan sarung sudah jadi tradisi
tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya
sayang, ayah ambilkan minyak kepala
dulu,” ayahku memandangi tubuhku
dengan senyuman, lalu meninggalkanku
sendirian dikamar, aku pun menunggunya
sambil berbaring diranjang. Tak lama
kemudian ayah datang membawa sebotol
kecil minyak kelapa.
“Memang susah anak muda sekarang,
nggak perhatian sama istrinya,”
ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi
ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah
yang perhatian ya yah,” kataku.
Tangan ayah segera menyibak kain yang
kukenakan dibagian atas, sehingga
susuku tanpa pembungkus bebas
terlihat. Tetapi aku sama sekali tak risih
karena sejak kecil sampai gadis pun aku
sering dilihat mandi telanjang oleh ayah.
Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi
perutku dengan minyak kelapa, sesekali
tangannya memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun,
kamu sering merasa sakit ya?” ayah
bertanya sambil tangannya terus
memijiti perutku.
“He-eh yah.., sering capek juga
kakinya,” jawabku menikmati pijitan
ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh
badanmu ya,” ayah mengatakan itu,
lalu pijitannya pindah kebetisku,
pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap
ngobrol, mulai masalah harga ikan yang
sedang turun, sampai masalah masa lalu
ayah dengan ibuku.
“Uhh.. sakit yah,” aku agak berteriak
saat merasakan sakit dibagian perut
saat tangan ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi
tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini bisa
bahaya, kalau dibiarkan nanti anakmu
bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah
dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar
nggak mau punya anak cacat,” aku
takut sekali waktu itu, takut
menanggung malu jika kelak melahirkan
anak yang tak normal.
Ayah tak langsung menjawab
pertanyaanku, ia kelihatan sedang
berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus
siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian
meninggalkanku sendirian dalam kamar.
Tak lama ayah datang lagi dan membawa
baskom plastik berisi air dan beberapa
kembang kenanga.
Ayah kemudian menjelaskan padaku
bahwa ia akan mengobati kehamilanku
dengan pengobatan tradisional.
“Tapi ayah harus masukan air kembang
ini kedalam rahimmu sayang, kamu bisa
tahan sakit sedikit kan?” ayah
mengatakan itu dengan sangat
meyakinkan.
Semula aku ragu, apalagi ayah bilang
kalau dia akan memasukan air kembang
itu dengan cara menyemburkannya
divaginaku. Tetapi keraguanku pupus
setelah ayah berkali-kali meyakinkanku.
Sampai sekarang pun aku tak tahu pasti
apa kata ayahku itu benar atau hanya
sekedar akal bulusnya saja. Tetapi yang
jelas, saat itu aku menurut saja ketika
ayah menyingkap sarung yang kukenakan
dibagian bawah dan meminta aku
mengangkangkan kaki dalam posisi
terlipat, seperti posisi wanita yang
hendak
bersenggama dengan lelaki. Ayah sendiri
naik keranjang dengan posisi bersimpuh
dihadapan kangkangan kakiku. Terus
terang aku malu dan kikuk menyadari
betapa vaginaku terpampang jelas tanpa
penghalang didepan mata ayahku.
“Kamu tenang saja ya sayang, tidak
lama kok,” katanya, lalu meneguk air
kembang dalam baskom dan menampung
dalam mulutnya yeng menggelembung.
Aku sangat penasaran apa yang akan
terjadi selanjutnya, apalagi saat kepala
ayah mulai merunduk melewati dua
pahaku, mendekati vaginaku yang tak
terbungkus CD. Beberapa detik kemudian
kurasakan dingin mejalar dipermukaan
kemaluanku, rupanya ayah sudah
menyemburkan air dalam mulutnya tepat
kevaginaku. Yang kurasakan selain
dinginnya air kembang, juga perasaan
geli dibagian vitalku. Ayah mengulangi
lagi meneguk air itu dan menyemburkan
ke vaginaku, beberapa kali. Hal itu
menimbulkan perasaan tak menentu
padaku, geli, dingin bercampur enak.
“Gimana Mar, sudah agak membaik rasa
sakitnya?” ayah bertanya padaku.
Namun belum sempat kujawab tangan
kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air
kembang itu masuk sampai kerahimmu,”
katanya, sambil tangannya terus
mengusapi bibir vaginaku.
Usapan tangan ayah divaginaku yang
sudah basah terkena air kembang
membuat sensasi tersendiri kurasakan,
aku pun tak bisa berkata-kata lagi
karena mendadak lemas seluruh sendi
tubuhku.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mar nggak bisa
tahan geliinya,” bibirku meminta ayah
menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua
tanganku tak menahan tangan ayah
yang aktif, tetapi tanganku justru
meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah
bertanya sambil jempol kanannya
menekan klitorisku dan menguyak-
nguyak benda sensitifku itu memutar
kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali
disituhh,” nafasku mulai tersengal
menahan geli yang nikmat dibawah
usapan jempol ayah dibagian klitorisku.
asa gatal yang sangat kurasakan
dipucuk-pucuk kedua susuku yang
putingnya sudah mengembang pertanda
birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya
mengusapi klitorisku dengan jempolnya,
usapan itu perlahan melemah dengan
posisi jempol beranjak menjauh dari
klitorisku. Saat itu aku sudah sangat
terangsang oleh ayah, pinggulku kini
yang naik mengejar jempol ayah agar tak
meninggalkan klitorisku. Aku
menggelepar dengan napas sudah sangat
tidak beraturan lagi, pikiranku sudah
melayang dan tak ingat lagi bahwa yang
merangsangku adalah ayahku sendiri.
Tapi disaat aku sudah sangat
terangsang seperti itu, ayah justru
menghentikan aktifitasnya di klitorisku.
Pinggulku yang tadinya sedikit
mengangkat mencari jempol ayah
langsung terjerembab lagi, aku terpejam
menahan gejolak yang berkecamuk
ditubuhku.
“Auhh yahh, kenapa?” tanyaku agak
kecewa, tapi mendadak malu saat ayah
menatapku, malu karena aku seperti
meminta hal yang lebih dari ayahku.
“Mar.. sepertinya air kembang itu tidak
masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi
semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mar.. nggak
tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya
tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin
menjauhi ayah.
Ayah tak menjawab permintaanku dan
kembali meneguk air kembang lalu
ditampung dimulutnya. Aku memejamkan
mata saat kepala ayah kembali tunduk
mendekat ke pangkal pahaku. Aku kembali
merasakan dingin di permukaan vaginaku
saat ayah mulai menyemburkan air
kembang, tapi kali ini lain, setelah
semburan itu aku merasa ada benda
kenyal nan lembut menyapu permukaan
vaginaku. Kupikir itu jemari tangan
ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan,
benda bertekstur lembut, hangat, dan
kenyal itu adalah lidah ayah. Ya, ayah
mengusapi tepatnya menjilati permukaan
vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh.. mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,”
aku tak kuasa menahan rasa nikmat
dijilati ayah, terus terang sejak kawin
dengan Mas Hamdi belum pernah aku
diperlakukan seperti itu. Mas Hamdi
selalu main langsung tembak, tanpa
rangsangan lebih dulu sehingga selama
ini aku sendiri belum pernah merasakan
apa yang disebut kenikmatan orgasme.
Jilatan ayah mulai meningkat, kini
lidahnya justru sering menelusup belahan
bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan
bening kental dari vaginaku diseruput
ayah seperti menyeruput kopi hangat
dari gelasnya.
“Ngghhsstt.. yah.. Mar nggak bisa
tahnn.. ouhh..” aku mulai
menggelinjang tak menentu rasanya.
Namun disaat aku mulai melambung
tinggi, ayah menghentikan lagi
aktifitasnya di vaginaku, membuat aku
menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mar.. ayah agak sulit masukan air
kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar
lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi,
geli sekali yah,” aku merasa semakin
lemas karena birahiku dipermainkan
seperti itu.
Saat itu aku berhayal seandainya Mas
Hamdi ada tentu dialah yang akan
memuaskanku dengan penisnya, karena
aku merasa sudah siap betul dan ingin
sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi pikiran
itu kutepis, karena bukankah ayah yang
sedang mengobati kandunganku? Aku tak
berpikir bahwa ayah pun terangsang
saat itu.
Tapi tak lama kemudian kurasakan nafas
ayah kembali mendekati vaginaku, setelah
meneguk air kembang yang hampir habis
di baskom. Ayah tidak lagi menyemburkan
air itu dengan berjarak dari vaginaku,
tetapi bibir ayah langsung menempel
dibibir vaginaku dan ia menyemburkan air
itu. Kurasakan aliran air itu masuk
hingga ke dinding rahimku, rasanya sama
seperti saat Mas Hamdi menumpahkan
spermanya ketika kami bersenggama.
Setelah itu bibir ayah melumati bibir
vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan
vaginaku membuat nikmat yang sangat
dibagian sensitif itu, aku benar-benar
kepayang dibuat ayah. Kini jemari
tangan ayah turut menyibaki vaginaku,
membukanya lebar dan lidahnya menyapu
klitorisku dari atas kebawah dan
sebaliknya dari bawah keatas.
“Ouhh.. yah.. suddhh yaahh, Mar mau
kencingg rasanya ah..” seluruh sendiku
terasa ngilu dan mengembang bersama
kedutan kecil didinding vaginaku, aku
hampir sampai puncak orgasmeku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-
lagi ayah menghentikan aktifitasnya,
tapi saat kubuka mata ternyata kali ini
tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku
dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh..
ahh,” belum habis kagetku karena ayah
menindih, aku merasakan ada benda
keras yang masuk ke vaginaku.
Ternyata ayah sudah melepaskan
celananya dan penisnya yang tegang
dimasukan ke vaginaku. Aku hendak
berontak karena hal itu tabu
dikampungku dan dimanapun, bukankah
seorang ayah tak boleh melakukan itu
pada anak perempuannya. Perang bathin
kualami saat itu, aku ingin mendorong
tubuh kekar ayahku tetapi aku sudah
sangat lemas saat itu. Sementara
dorongan birahiku ingin segera
terpuaskan dengan senggama bersama
lelaki.
“Oohhgg, Mar.. angap saja ayah Hamdi
Mar.. ouhh ayahh nggak tahhann,” ayah
tetap menindihku dan kini pinggulnya
mulai naik turun diatas tubuhku
membuat penisnya bebas keluar masuk
diliang nikmatku yang sudah licin dan
becek oleh cairanku sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak
kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai
mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut
menyambut goyangan ayah dengan
goyangan pinggulku. Merasa aku tak
melawan, ayah pun semakin liar
menyetubuhiku, anak kandungnya. Kini
sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar
menghisapi puting susuku, sehingga
senggama kami sempurna dan
kenikmatan yang kurasakan pun semakin
tak tertara bila dibanding senggamaku
bersama suami.
Sekalipun usia ayah sudah kepala enam,
tetapi kondisi fisiknya masih kuat dan
kurasakan penisnya pun masih normal
dengan ukuran yang sedikit lebih besar
dari punya Mas Hamdi.
“Yahh.. Marr mauu kencinghh yahh
uuh..sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama,
kurasakan kenikmatan mulai mengumpul
di pangkal pahaku, bongkahan pantatku,
ujung-ujung jari kakiku, dan juga di
liang nikmatku. Kedutan semakin terasa
didinding vaginaku, dan akhirnya
kurasakan kejang dibagian pinggul
sampai kakiku, kakiku kemudian
kugunakan untuk menjepit pinggul ayah
dan menekannya agar lebih dalam
penisnya bersarang di vaginaku.
Tanganku memeluk tubuh berkeringat
ayah, sementara kepalaku terangkat
dengan bibir menyedok kulit dada ayah.
Dalam kondisiku yang puncak itu, ayah
masih menggejot penisnya beberapa kali
sebelum akhirnya
ayaHPun mengejang dan mengerang
diatas tubuhku.
“Ahhgg Mar.. ngghh,” ayah lalu lunglai
dan berbaring disampingku yang juga
lemas tak bertenaga. Tulangku seakan
dicopoti saat itu, namun kuakui itulah
kali pertama aku kepuncak nikmatnya
senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku
dirumahnya, dan paginya kami seperti
melupakan kejadian itu. Akupun pulang
kerumah mertua pagi harinya, dan
bersikap seperti biasa saat Mas Hamdi
pulang melaut.
***
Kejadian pertama bersama ayah,
membuat aku agak malu untuk datang
kerumah ayah lagi. Sudah dua minggu ini
aku tidak menjenguk atau
mengantarkan makanan untuk ayah.
Entahlah, walau sebenarnya aku tak
keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah,
tetapi aku malu kalau disangka ayah
ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut
seperti biasa ia meminta jatah dilayani
kebutuhan biologisnya. Sebagai istri
kulayani suamiku semaksimal mungkin.
Tapi seperti biasa juga, Mas Hamdi hanya
memikirkan kepuasannya saja, dan sudah
mengejang menyemprotkan air maninya
sebelum aku merasa terangsang, apalagi
orgasme.
“Mhh, aku sayang kamu Mar..” Mas
Hamdi selalu mengatakan itu sambil
mengecup keningku setiap kali usai
menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia
mengenakan kembali pakaiannya dan
meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun
melaut bersama teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang
kuucapkan melepas pergi suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa
mengenakan kembali pakaianku, rasa
kecewa terhadap suamiku tumpah lewat
air bening yang meluncur ditepian
mataku. Aku merasa tersiksa dua minggu
ini setiap kali berhubungan intim dengan
suamiku, tersiksa karena tak
mendapatkan nikmat yang maksimal
seperti yang kudapat dari ayahku.
Setelah suamiku menhilang dibalik pintu,
aku bangkit dan mengunci kembali pintu
kamar. Kembali berbaring diranjang
tanpa busana, aku menghayalkan
kenangan nikmat bersama ayah. Tak
terasa tanganku mulai meremasi
payudara sendiri, sambil membayangkan
ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku
pun menjelajahi bagian tubuh sensitifku
sendiri. Malam itu aku mencapai
orgasmeku dengan masturbasi sambil
menghayalkan ayahku, lalu tertidur
pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas
Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan
makanan untuk kubawa kerumah ayah.
Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah
pagi itu.
“Eh kamu Mar.. ayah kira siapa,” kata
ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,”
aku menjawab tanpa mampu menatap
mata ayah, aku malu dan jadi canggung
pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan
seperti biasanya aku langsung kedapur
untuk memindahkan makanan dirantang
yang kubawa kepiring di dapur rumah
ayahku.
“Gimana sayang, sudah nggak sakit lagi
perutmu?” suara ayah menyapaku, dan
aku agak terkejut ketika ayah tiba-tiba
sudah mendekap tubuhku dari belakang
sambil tangannya mengusapi perutku
yang nampak sedikit membuncit dengan
usia kehamilan 3 bulan.
“Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-
kadang masih tuh yah, tapi agak membaik
kok setelah dipijit ayah waktu itu,” aku
bingung harus menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar
nggak sakit-sakitan perutmu itu,”
nafas ayah tepat menghembusi
tengkukku, membuat aku menahan geli
dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah
kurasakan membelai bongkahan pantatku
dan mulai menyingkap naik bagian bawah
daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh ayah.. jangan lagi ah,” aku
berusaha menepis tangan ayah dan
kembali meneruskan kegiatanku
merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi
tangan ayah seperti tak mau pergi, dari
belakang itu ayah malah memasukan
tangannya kebalik dasterku dan
mengusapi bongkahan pantatku, sesekali
meremasinya.
“Ya sudah, kalau nggak mau dipijitin
dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Kamu
kan bisa sambil rapikan piring itu,” ayah
semakin berani menyusupkan tangannya
kebalik CD ku, sehingga kini tangan
kasarnya mengusapi pantatku tanpa
penghalang. Saat tangan ayah langusng
menyentuh kulit pantatku secara
langsung, aku merasakan desiran aneh
yang kemudian memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap
merapikan makanan diatas meja dapur,
tetapi aku tak lagi menepis aktifitas
ayah, aku membiarkan ayah berbuat
semaunya.
“Asshtt yah.. janganhh geli yah,” aku
menggelinjang saat bibir ayah mengecup
tengkukku, tapi aku tak mampu
menghindarinya.
“Kamu merunduk diatas meja ya
sayang, tenang saja.. supaya perutmu
cepat sembuh, ayah pijitin sambil berdiri
ya,” ayah menekan bahuku dari
belakang sehingga posisi tubuhku
merunduk dengan kedua tangan
menopang dibibir meja.
Penasaran juga apa yang akan ayah
lakukan, aku pun tak bisa menjawab
selain mengikuti perintah ayah itu. Kini
pekerjaan merapikan piring sudah tidak
ada lagi, yang ada aku merunduk pasrah
di meja itu, menunggu apa yang akan
ayah lakukan selanjutnya.
Desiran yang kurasa semakin menjadi
saat ayah melorotkan CD yang kupakai
lalu menyingkap naik bagian bawah
dasterku. Posisiku jadi nungging
membelakangi ayah dengan tubuh bagian
bawah bugil. Ayah lalu memandu kedua
kakiku untuk lebih merenggang jarak,
lalu ia pun berlutut dibagian itu.
“Bagus sekali kemaluanmu ini Mar..”
ayah memujiku.
“Ayah, saya mau diapakan lagi sih?”
Aku penasaran apa yang akan diperbuat
ayah terhadapku. Tapi lagi-lagi ayah
bilang kalau itu termasuk pengobatan
tradisional yang akan mempermudah aku
melahirkan kelak. Sambil menjelaskan itu
padaku, tangan ayah mulai menjelajahi
belahan pantatku
dan kadang menyusup sampai kebibir
kemaluanku.
“Hsstt ahh,” aku tak bisa menahan
desah yang keluar akibat napasku mulai
tersengal menahan dampak aksi ayah.
Perasaan geli menjalari vitalku dan
membuat tenaga dikedua kakiku seperti
melemah, posisiku jadi lebih merunduk
dengan tangan terlipat dimeja dan
susuku terhimpit antara badan dan
meja. Aku melangkah mundur sedikit
menjaga agar perutku tak tertindis
tubuh dan terhimpit meja. Posisi itu
rupanya membuat ayah semakin mudah
menggapai vaginaku dari belakang
karena tinggi meja yang hanya satu
meter membuat aku nungging maksimal
membelakangi ayah yang berlutut.
“Tahan sebentar ya sayang.. cuma
sebentar kok,”
Ayah tak lagi mengusapi bongkahan
pantatku, kini kedua tangannya
menahan bongkahan pantatku dan
menguaknya agar bibir vaginaku
terlihat. Ditengah penasaranku, tiba-
tiba kurasakan lidah ayah sudah menyapu
bibir vaginaku. Ritme jilatan ayah di
vaginaku sungguh teratur, setiap lima
kali menjilat naik turun ayah selalu
menghentikannya dibagian klitoris untuk
menekan klitorisku dengan lidahnya itu.
Kendali benar-benar dipegang oleh ayah
saat itu. Aku sudah tidak mampu lagi
bergerak, apalagi menolak perlakuan
ayah padaku. Cairan kental kurasa sudah
mulai keluar dari vitalku membuat ayah
semakin leluasa menjilat, mengecup, dan
mengulum bibir vaginaku. Dendam nikmat
yang tak kuraih dari Mas Hamdi semalam,
ingin kutumpahkan disini, bersama
ayahku.
“Aduhh yahh.. gelhihh sekalhii ehhsshh,”
saat ritme jilatan ayah menekan
klitorisku, pantatku menyambut
bergerak kebelakanng membuat wajah
ayah tenggelam dibongkahannya, aku
ingin agar lidah itu menekan lebih keras
klitorisku. Tanganku menggapai apa saja
yang ada diatas meja, meremasi gelas
dan serbet disana demi menikmati sensasi
itu. Koyakan-koyakan lidah ayah
menembusi belahan bibir vaginaku,
sesekali ayah menyedot dan menelan
cairan kental yang keluar, lalu mengoyak
lagi dan lagi.
“Ehm.. kemaluanmu sudah mulai
berkedut Mar, apa sakit diperutmu sudah
mulai hilang?” ayah menghentikan
jilatannya dan bangkit mendekap
tubuhku yang tetap nungging.
“Mhh aahh, belum yahh.. masih sakit
perut Mar,” aku menjawab begitu agar
ayah meneruskan lagi jilatannya dan
membuai lagi birahiku.
“Belum? Kalau begitu ayah teruskan ya
pijitannya, kalau begini enak tidak
sayang?” ayah berdiri dibelakangku,
kedua tangannya mencengkeram
pinggulku. Belum lagi aku menjawab
pertanyaan ayah, kurasakan benda
hangat dan tegang ingin menembus
vaginaku.
“Ohh yaahh..,” penis ayah yang sudah
berada digerbang liang nikmatku
langsung amblas separuh di vaginaku
saat aku mundurkan pantatku.
Tapi ayah seperti ingin menyiksa birahiku,
ia tetap berdiri mematung sekalipun
penisnya sudah masuk separuh ke liang
nikmatku. Kini akulah yang aktif
memburu batang perkasa ayah,
pinggulku memutar dan mundur-mundur
menahan gatal yang ingin agar penis itu
masuk utuh divaginaku. Beberapa menit
seperti itu, ayah pun tak bisa lagi
menahan birahinya, dan siap
menggenjotku. Tetapi baru saja ayah
terasa akan menekan pinggulnya
kedepan, mendadak terdengar ketukan
pintu rumah. Ayah beranjak menjauhiku
dan menaikan celananya lagi.
“Ada orang Mar.. kamu perbaiki bajumu
ya, ayah lihat siapa yang datang,” ayah
meninggalkanku didapur.
Agak kesal memang saat itu karena aku
sudah terlanjur birahi dan ingin sekali
terpuaskan. Tapi kesal itu luntur saat
terdengar suara Henny, adik bungsu Mas
Hamdi.
“Mbak Mar ada Pak Sam.., saya disuruh
panggil, Mas Hamdi sudah pulang,”
begitu suara Henny terdengar.
“Oh.. ada nak, Mbak Mar ada disini baru
ngatur makanan untuk saya. Mar,
Mar..” ayah memanggilku.
“Eh Henny, Mas Hamdi pulang ya.., yuk
kita pulang. Yah Mar pulang dulu ya,”
aku berpamitan dan mengajak Henny
pulang kerumah mertuaku, hari sudah
beranjak siang saat itu.
Sampai dirumah Mas Hamdi memintaku
membuatkan kopi untuknya, lalu dia
banyak bercerita tentang hasil
melautnya semalam.
“Cakalang sedang banyak Mar, mungkin
setelah makan siang nanti saya bersama
kawan-kawan kembali ke laut, mumpung
rejeki nih,” katanya.
“Iya Mas, tapi hati-hati ya,” jawabku.
Setelah minum kopi, Mas Hamdi menarikku
kekamar, dan minta aku melayani nafsu
seksnya. Untung baru beberapa saat aku
dirangsang ayah sehingga aku sangat
senang melayani Mas Hamdi. Tapi seperti
biasa, Mas Hamdi main tubruk saja.
Menindih tubuhku masih lengkap dengan
baju, Mas Hamdi hanya membuka
resleting celananya. Dasterku hanya
disingkap keatas dan CD dipelorot
kebawah lalu ia menggenjotku.
“Ohh mass, enaakhh mass,” walaupun
Mas Hamdi tak merangsangku namun
dengan membayangkan buaian ayah tadi,
aku bisa terangsang dan benar-benar
ingin dipuaskan. penis Mas Hamdi
menembusi vaginaku dengan cepat.
“Iyahh sayangghh enaakhh sekalii..
pepekmu ougghh,” Mas Hamdi melenguh,
padahal baru beberapa menit penisnya
masuk di pepekku.
“Ouhh.. Sstthh.. janghaann duluu mass,
ahh,” ingin kuhentikan saat merasakan
penis Mas Hamdi berkedut menyemburkan
sperma kerahimku. Oh, lagi-lagi dia hanya
memikirkan kepuasan sendiri, tanpa
mengerti perasaanku yang juga ingin
merasakan nikmatnya disetubuhi suami.
“Uhh, nikmat sekali sayang, makasih
ya,” katanya, mengecupku, lalu pergi.
Aku ingin sekali marah, berteriak, dan
maki-maki, tetapi semua hanya bisa
tumpah lewat tangisan siang itu.
Sore hari setelah Mas Hamdi melaut, aku
berpamitan kepada mertuaku untuk
menjenguk ayah. Lagi-lagi alasanku ayah
sedang sakit. Begitulah, sore itu aku
kembali berada dirumah ayah, dan tak
ingin membuang waktu aku langsung
memluk tubuh ayah begitu masuk
rumahnya.
“Oh.. ayahh, Mas Hamdi jahat yah..,”
aku menangis dipelukan ayah diruang
tamu.
“Kamu kenapa Mar..? kenapa kamu..?”
ayah nampak khawatir melihat aku
menangis.
“Dia menyetubuhiku tapi perutku
tambah sakit yah, ini yah disini sakit,”
aku menuntun tangan ayah keperutku
yang mulai membuncit.
“Disini ya, sayang. Sudah, kamu diam ya
nanti ayah obati.., nah disinikan yang
sakit? disini juga ya..?” ayah seperti
mengerti apa yang kuinginkan dalam
posisi berpelukan sambil berdiri, tangan
ayah mulai merayapi dari perut sampai
selakanganku, membuat gairahku
bangkit seketika.
“Ayo sayang, ayah obatin dikamar..,
ups..”
Ayah membopong tubuhku dan
membaringkanku diranjang kamarnya.
Setelah itu, bagai serigala lapar, ayah
melucuti pakaianku dan pakaiannya juga.
Ayah langsung menerkam
selangkanganku yang membasah dan
menjilati lagi vaginaku.
“Ohh iyaahh yaah.. begitu yahh.. aahh,”
aku tak lagi bisa mengendalikan
ocehanku, nikmat sekali perlakuan ayah
itu.
Mendengar celotehku tangan ayah naik
merambati susuku, meremas, dan
mencubiti putingnya. Sepuluh menit
mempermainkan vagina dan susuku, ayah
rupanya tak tahan juga. Apalagi pagi
tadi pasti ayah pun sangat menyesal
nafsunya tak tuntas.
“Uh Mar.., angkat kakimu ya.. begini
sayang,” ayah membimbing kakiku
menopang dipundaknya.
Dengan posisi itu ayah menepatkan
penisnya dibelahan bibir vaginaku.
“Yahh.., obatin Marr yah.. cepet yahh,”
aku sudah merasa gatal sekali ingin
segera menerima sodokan penis kekar
ayahku.
“Mar.., kalau lagi hamil muda memang
wanita butuh beginian, kalau suamimu
susah, kamu sering kemari ya, biar ayah
obatin.
Lagipula, wanita hamil paling enak
memeknya.. kayak kamu ini,” ayah
sengaja lagi mempermainkan birahiku,
aku diajaknya ngobrol sementara kepala
penisnya yang bulat dibiarkan membenam
di pintu vaginaku tanpa memasukan
batangnya.
“Gimana Mar? Kamu jawab donk
sayang..?” tanyanya.
“Duhh ayahh.. masukinn dong yahh, Mar
nggak bisa nahan lagihh, ahh.. iyaa
uhh,” belum selesai aku memohon, ayah
menekan pinggulnya, membuat penisnya
masuk keliang nikmatku.
Bless.. cleepp..
Posisi yang dibimbing ayah ternyata
membuat syaraf divaginaku menerima
rangsangan yang maksimal. Dengan
posisi itu penis ayah menekan cukup
diklitorisku setiap kali keluar masuk
menembus bibirnya. Penis ayah yang
sedikit lebih gemuk dari penis suamiku
serasa membuat bibir vaginaku ikut
monyong-monyong menerima
sodokannya. Tangan ayah meremasi
susuku dengan keras, dan tanganku
hanya bisa melampiaskan nikmatku
dengan meremasi bantal dikepalaku.
Kunikmati setiap gerakan ayah, aku juga
berusaha menggoyang ayah dari bawah
memutarkan pinggulku semampuku, aku
pun ingin ayah merasakan kenikmatan
yang sama seperti yang kudapat darinya.
Mungkin benar kata ayah, saat hamil
muda wanita sangat butuh seks dan
butuh terpuaskan. Rambutku yang
panjang sudah acak-acakan mengikuti
gerak kepalaku yang liar. Keringat ayah
dan keringatku bercampur membasahi
tubuh kami dan juga sprei ranjang.
“Ohh Marr.. bukan mainn Mar.. enakh
sekali pepekmu nak..,” ayah sudah
hampir jebol, gerakan menggenjotku
semakin cepat.
“Oyaahh..mmphh aahhsstt.. enaakk
juggaa konntollnyaahh.. aahhsstt,”
saat gerakan ayah lebih cepat,
rangsangan diklitorisku menjadi puncak.
Aku juga hampir jebol, meski berusaha
kutahan tapi kedutan kecil dinding
vaginaku semakin menjadi, sampai
akhirnya kupiting leher ayah dengan
betisku yang menggatung.
“Amphuunn yahh.. aahhsstt,.. enghh..
ahhsstt..enghmm.. yahh.. ohh,” aku
jebol, vaginaku berkedut menjepiti penis
ayah.
“Maarr.. ennaakk ohh.. ouhh.. ohh,
ennaakkh Marr ohh,” beberapa detik
kemudian ayah menyusul orgasmeku,
tubuhnya mengejang dan tangannya
semakin keras meremas susuku.
Ayah menurunkan kedua kakiku dari
pundaknya tanpa melepaskan penisnya
yang terjepit vaginaku, dan
mengarahkanku untuk berbaring miring
berhadapan dengannya yang terkulai
disampingku, kelamin kami tetap menyatu
saat itu. Sampai akhirnya penis ayah
mengecil dan melepaskan diri dari jepitan
vaginaku. Saat lelah kami terobati
dengan tidur beberapa jam, malam itu
aku pulang kerumah mertua, dan
melanjutkan tidur nyenyak dengan
perasaan nyaman sekali.
Seperti kejadian pertama, meskipun aku
terpuaskan bukan main tapi kejadian
kedua bersama ayah menyisakan sesal
dibathinku. Apalagi setiap kali aku
mendengar ceramah rohani, aku merasa
dosa terhadap Mas Hamdi suamiku. Selain
itu aku juga merasa dosa melakukan
hubungan intim dengan ayah kandungku,
bukankah kami sedarah dan tabu untuk
melakukan itu?
Tapi entahlah, dibalik rasa sesal itu, ada
rasa ingin mengulangi yang juga sama
besarnya. Dua perasaan itu berkecamuk
dibathinku seminggu ini, selama itu aku
ingin sekali ke rumah ayah tetapi batal
karena rasa sesal tadi. Pagi itu aku
merasa perang bathin lagi, tapi
nampaknya rasa sesalku kalah kali ini
dengan rasa ingin mengulangi nikmat
bersama ayahku. Apalagi semalam aku
kembali kecewa dibuat Mas Hamdi.
Walaupun semalam Mas Hamdi sampai
tiga kali menindih tubuhku dengan nafsu,
tetapi ia selalu selesai sebelum aku
puncak.
Setelah menyelesaikan pekerjaan
rumahku, aku mengemasi makanan untuk
kubawa kerumah ayah yang sudah
seminggu ini tak kukunjungi. Kupikir aku
bisa menghabiskan waktu disana karena
Mas Hamdi baru subuh tadi berangkat
dan tentu pulang malam. Maklum arah
angin berubah sehingga hari itu Mas
Hamdi melaut pagi.
Waktu aku sampai dirumah ayahku,
rupanya pintu tak terkunci sehingga aku
bisa langsung masuk. Kulihat ayah
tertidur di kursi bambu ruang tamu,
hanya pakai sarung dan telanjang dada.
Kubiarkan ayah tidur sementara aku
kedapur memindahkan lauk dari rantang
ke piring yang ada dimeja dapur. Setelah
itu aku kembali keruang tamu dan
memperhatikan ayahku yang tertidur
dikursi panjang dari bambu. Dibanding
Mas Hamdi, ayah memang bertubuh lebih
bagus walau sudah cukup tua. Dada
bidangnya masih menonjolkan otot
semasa muda dulu membuat tubuh yang
tingginya mencapai 178 cm masih terlihat
kokoh jika berdiri.
Mataku menjelajahi tubuh ayah yang
terlentang, dari kaki sampai wajah.
Wajah ayah juga masih menawan untuk
lelaki seusianya, mirip-mirip aktor gaek
Pit Pagauw yang mancung dan ganteng
itu. Kuyakin, sebenarnya banyak wanita
yang tergila-gila pada ayah, hanya saja
ayah benar-benar sudah trauma dengan
kegagalan perkawinannya dengan ibuku.
Huh.. seandainya aku lahir di zaman ayah
dan bukan anak ayah, ingin rasanya aku
kukawini ayah dan menjadi istrinya.
Tentusaja kenikmatan dapat kuraih
setiap saat darinya, tapi mungkin bukan
itu ukuran kebahagiaan tiap wanita,
buktinya ibuku memilih meninggalkan
ayah dan kawin lagi dengan pria yang
lebih kaya.
“Ngghh..” ayah menggeliat tetapi
tetap tidur, kaki kanannya yang
terangkat membuat sarung yang
dikenakan singkap hingga pangkal paha
ayah terlihat jelas.
Oh.. Kekarnya penis ayah langsung
membayang dibenakku, apalagi saat itu
ujung penis tidurnya terlihat. Ayah tak
menggunakan CD rupanya, sehingga
penisnya menggelayut keluar dari kain
sarung ketika kaki kanannya terangkat
dan sarung itu tersingkap. Penis ayah
yang tidur saja sudah hampir sama besar
dengan milik suamiku, dadaku langsung
berdesir saat itu, birahiku merambat
naik.
Entah setan apa yang menguasaiku saat
itu, aku mendekat dan bersimpuh dilantai
menghadap kursi tempat ayah tidur.
Posisi wajahku berada beberapa
centimeter dari penis ayah yang keluar
dari sarung. Dengan sangat lembut
kusentuh penis ayah yang masih tidur,
dan pelan-pelan kugenggam penis itu dan
kuusap-usap mengocok-kocok penis ayah.
Walau ayah hanya bergumam kecil dan
tetap tidur, tetapi reaksi penisnya
positif, batang nikmat itu perlahan
membesar dan menegang seirama dengan
kocokanku. Aku benar-benar blingsatan
sendiri menyadari penis ayah sudah on
dan siap aksi, entahlah hari itu sebelum
mendapat foreplay dari ayah, aku justru
sudah terbakar birahi.
“Ouhh.. Sayangg..” ayah mendadak
terbangun, tangannya meremasi
rambutku dan menuntun kepalaku
mendekat ke penisnya.
“Tolong hisap sayang, seperti ayah
menjilati vaginamu itu,” ayah
memerintahku, dan perintah itu
kulaksanakan tanpa keberatan, walau
sebenarnya baru kali itu aku menghisap
penis lelaki.
“Mmmphh ssthh mmpphh.. Ahh, enak
yah?, mmphh sshtt,” kulakukan
pekerjaanku dengan baik.
Tubuh ayah sampai menggelinjang
beberapa kali menahan kenikmatan
oralku. Saat mulutku mengulum
penisnya, ayah menggerakkan tangan
yang memegang rambutku maju-mundur
ke arah penisnya, membuat mulutku
secara otomasi maju mundur pula
menelan dan melumat penis ayah. Cairan
bening yang keluar dari penis ayah
kutelan dengan penuh nafsu. Sambil
mengulum penis, kuperhatikan sensasi
wajah ayah yang semakin tampan
meringis menahan buaianku itu. Ayah
mencengkeram rambutku lebih kuat dan
lebih cepat menggerakan tangannya
memaju mundurkan kepalaku.
“Hsstt ohh.. Nikmaattnyaa saayyhh..
Oghh.. Aahhgg.. Ayhh puass Marr.. Ohh,”
tubuh ayah kejang dan penisnya
menyemburkan sperma kental yang cukup
banyak, kutarik wajahku menjauh
sehingga puncratan sperma ayah
tercecer ke lantai.
“Ohh.. Sayang sini sayang, duduk diatas
sini ya,”
Setelah beberapa menit menarik nafas,
ayah menyuruhku duduk di kursi bambu
itu sementara ia beralih berlutut dilantai
dengan posisi menghadap perutku. Ayah
mengakat kedua kakiku dan
menopangnya kemeja di depan kursi,
tubuh ayah seolah kujepit diantara kedua
pahaku. Kini gantian ayah yang
mengoralku. CD yang kupakai tidak
dilepaskan ayah, tanganya mengamit CD
bagian bawah dan dibawanya kekanan
sehingga bibir vaginaku tersembul lewat
celah CD itu, lalu ayah merunduk dan
kurasakan sapuan nikmat di permukaan
vaginaku.
“Ohh yaahh.. hhsstt,” gantian juga,
kini aku yang meremasi rambut ayah dan
menekan kepala ayah agar lebih terbenam
menjilati vaginaku yang membasah.
Perlakuan ayah sungguh lelaki,
jilatannya membuat aku menggelinjang
kenikmatan semakin memuncakkan nafsu
birahiku.
“Enghh uhh.. Enak sekali yahh, disitu
yahh, oh ya disitu.. Isap yang kuat yah,”
desahanku semakin menjadi, sesak
dadaku menahan rasa ngilu nikmat
disekitar vagina dan merambat hiingga
boongkahan pantat dan jari-jari kakiku.
Aku berusaha bertahan cukup lama,
tetapi setelah lima belas menit
diperlakukan begitu akhirnya pertahanku
jebol.
“Duhh yahh.. Ohh Marr yahh.. Uhh,
hsstt.. Enghh enakk.. Ahhsst,” saat
vaginaku mulai berkedut, kutekan kepala
ayah agar lebih membenam di vaginaku,
cairan yang keluar dari liang nikmatku
disedot ayah, membuat sensasi
nikmatnya orgasme bagiku. Saat
kedutan itu selesai, aku langsung
terkulai dikursi bambu itu, dan ayah
bangkit duduk disampingku membelai
kepalaku.
“Enak Mar?,” ayah membelai pipiku dan
menatapku.
“Enghh ayah, iya enak sekali yahh..”
aku lalu menyandarkan kepala didada
ayah. Kami duduk dengan posisi begitu
hampir setengah jam, aku dan ayah
terlibat obrolan tentang kenangan indah
ayah bersama ibuku, dan juga tentang
aku dan suamiku. Kepada ayah
kuceritakan betapa irinya aku terhadap
hubungan ibu dengan ayah yang jauh
lebih indah dibanding dengan aku dan Mas
Hamdi, tak terasa aku pun menangis
dipelukan ayah.
“Kasihan kamu nak, pasti kamu
menderita tak terpenuhi nafkah
bathinmu selama ini,” ayah membelaiku
lagi penuh kasih. Setelah membelaiku,
ayah memegang tanganku dan
menuntunnya ke arah penisnya. Astaga,
penis ayah sudah tegak kembali dengan
perkasa.
“Mari Mar.. ayah tuntaskan kenikmatan
tadi untukmu,” ayah membimbingku lagi
untuk berdiri menghadap kursi dan
menopang tangan pada sandaran kursi
bambu itu.
Aku menurut tuntutan ayah, saat itu
aku pun ingin segera menerima penis
ayah, aku ingin disetubuhi ayah dari
belakang, doggy style. CD ku yang basah
dipelorotkan sampai lutut dan dasterku
disingkap sehingga bongkahan pantatku
terlihat jelas. Ayah memelukku dari
belakang, tangannya mengusapi perut
buncitku dan meremasi susuku. Ayah
juga mengecupi leher belakangku.
“Ouhh yaahh.. Marr nggak tahann
yah..” aku mulai tak sabar disenggamai
ayah, merasakan penis besarnya
merangsek vaginaku.
“Iyahh sayangg.. Nihh ayahh berii.. Ouhh
nikmatnyya pepekk inii,” ayah
menepatkan penisnya dibibir vaginaku
dan menekan pinggulnya kedepan,
gerakan itu membuat penisnya langsung
amblas diliang nikmatku yang sudah
banjir saat itu.
“Iya yahh begiituu yahh.. Enakk
sekalliihh ohh,” aku merintih menahan
nikmat dibagian vitalku.
Ayah mulai menggerakkan pantatnya
maju mundur, sehingga penis kekarnya
menerobos keluar masuk di vaginaku.
Senggama doggy style memang nikmat,
apalagi baru kali itu aku mengalaminya,
setelah beberapa siang lalu gagal
lantaran hampir kepergok Henny, adik
iparku. Ayah benar-benar memacu
birahiku, vaginaku mulai berkedut
menginjak menit ke dua puluh kami
bersenggama.
“Ahhsstt.. Hhngghh.. Duhh yaahh..
Enhaakkhh ouuhh, iyaa lebih kerass
yaahh.. Enaakkhh hngghh,” aku
kelabakan menerima sodokan ayah,
kedutan kecil divaginaku kutahan sebisa
mungkin, aku belum mau secepat itu
orgasme, aku ingin lebih lama merasakan
kenikmatan itu. Kugoyangkan pinggulku
berputar mengimbangi gerakan ayah,
otot perut kutegangkan sesekali agar
ayah merasakan jepitan vaginaku
dipenisnya.
“Ohh Marr.. Enakknyaa pepeekkmuu..
Ohh,” ayah pun mulai merasakan hal
yang sama, celotehnya semakin menjadi
sambil tangannya meremasi bongkahan
pantatku. Ayah menggenjotku lebih
keras, penisnya menumbuki vaginaku
sampai menimbulkan keciplakan
berpadunya kelamin kami.
Aku tak tahan lagi, otot-otot kakiku
mengejang seiring denyutan vagina yang
semakin sering muncul. Nafasku dan
nafas ayah berpacu melenguh, mendesis,
memndesah, dan berteriak kecil.
“Iya yahh.. Kuatin yahh.. Marr sampaii
yahh.. Ouhh.. Aahhsstt ighh.. Ammphuunn
aahh,” kurasakan seluruh ototku
mengejang, kenikmatan mengumpul dari
kaki, pantat hingga vaginaku yang
semakin keras berkedut, aku hampir
orgasme.
“OuuhHPp Marr.. Iinnii diaa.. Ohh.. Ohh
ayah hampir juga Mar.. Ohh,” ayah pun
mengerang, tangannya menjambaki
rambutku dan tubuhnya semakin cepat
menggenjot tubuhku.
“Ouhh.. Ammphunn yahh.. Amphunn..
Aahhsstt.. Ohh.. Ampphunn..” aku
sampai berteriak menerima orgasmeku,
aku jebol.
“Iya Marr.. Inii.. Ayahh juggaa..
Aahh,” ayah masih menggenjotku
berkali-kali saat aku sudah puncak.
Tetapi, “braak..” pintu rumah ayah
yang lupa kami kunci terbuka lebar.
Menyusul suara pintu itu, Mas Hamdi
masuk dan berdiri terpaku memandang ke
arah kami.
“Ouhh Maarr.. aaghhkk.. Ohh.. Iyaahh..
Ohhggh,” sangat tanggung saat itu,
meskipun kami tahu kehadiran Mas Hamdi
tetapi puncak nikmat yang datang tak
mungkin lagi terhindar, ayah meneruskan
memompaku sampai ia sendiri kejang dan
memeluk tubuhku dari belakang.
“Ohh ammphunn yaahh..” aku sangat
kenikmatan saat itu.
Mas Hamdi terpaku memandang kami,
tetapi setelah mendengar aku berkata
ampun, Mas Hamdi segera menuju ke arah
kami dan menarik tubuh ayah.
“Kurang ajar kau orangtua, anakmu
sendiri kau perkosa.. Huh”
Sebuah pukulan menyasar kewajah ayah
sampai ia terjerembab kelantai. Rupanya
Mas Hamdi berpikir kalau barusan tadi
aku diperkosa, ia lalu menghampiri ayah
yang jatuh dan menendang tubuh tua
ayah beberapa kali. Aku tak tahu mesti
bagaimana saat itu, selain mengenakan
kembali CD-ku dan membenahi pakaianku.
“Kamu nggak apa-apa sayang?,”
suamiku memelukku setelah ayah tak
berdaya.
“Enggak Mas.. Nggakk apa-apa,” aku
pun memeluknya, sungguh aku takut
sekali saat itu.
Takut ketahuan, dan takut ditinggalkan
suami. Beberapa menit kemudian suara
ribut hardikan Mas Hamdi kepada ayah
mengundang masyarakat datang. Ayah
kemudian diarak ke rumah Pak Rahmat,
Kadus dikampungku. Setelah sehari
diamankan di rumah Kadus, Mas Hamdi
melaporkan perbuatan ayah kepolisi dan
ayah diamankan di kantor polisi sekaligus
dijerat sebagai pemerkosa anak
kandung. Aku ingin sekali membela ayah,
tetapi aku tak mampu.
Kini, sudah lima bulan berlalu. Ayah sudah
melalui proses peradilan dan meringkuk di
LP sebagai terpidana tiga tahun penjara.
Kisah kami tetap kusimpan rapi, dan
sebulan sekali aku masih mengunjungi
ayah di LP walaupun kulakukan tanpa
setahu suamiku.
TAMAT
Komentar